Sabtu, September 12, 2009

SERI PANJISAKA- GEGER DI PUNCAK MERAPI (2.2)

“ Ki damir ini adalah teman saya bermain dulu waktu kecil… ya disini.. dipadukuhan pakeman ini.. mungkin para sesepuh padukuhan masih ingat dengan beliau… rumah beliau dulu di pojok desa.. karena ditinggal oleh kedua orangtuanya.. lalu ki damir mengabdikan diri ke kademangan ngambat.. sampai sekarang ..” mendengar penjelasan ki lurah , terlihat para sesepuh yang duduk dideretan depan saling menggut-manggut tanda mereka lamat-lamat ingat terhadap orang yang disebut ki Damir itu.
“ Namun sayang.. “ lanjut ki Lurah.. “ sepekan yang lalu menurut Warta yang dibawa Ki damir ini, bahwa kademangan Ngambat telah diserang oleh orang-orang Bintoro…” semua orang menjadi tegang mendengar kabar itu.. suasana jadi sepi.. seolah-olah semua orang menahan nafasnya.. tiba-tiba dari kerumunan orang dibelakang terdengar suara batuk-batuk kecil, lalu muncul seorang kakek tua yang mengenakan surjan lurik lusuh…
“ Ki Lurah… Mungkin padukuhan kita ini pun akan mengalami hal yang sama…. “ ujar kakek tua itu sambil berjalan menuju kearah ki Lurah duduk. Ki lurah dan semua sesepuh padukuhan berdiri menjura hormat pada kakek tersebut, lalu ki Lurah menjura dengan begitu hornat..
“ Selamt Datang Ki Demung Ganjer… Maaf kalau kami tidak menyambut kedatangan aki..”
orang yang disebut ki Demung ganjer itu mengangkat tangan dan meneruskan kata-katanya..
“ lebih baik sekarang kita semua bersiap-siap, menyambut kedatangan mereka.. usahakan untuk tidak terjadi pertempuran… karena hal semacam itu akan merugikan semua pihak… “
“ Betul apa yang dikatakan Ki Demung…, harap semua kadang kembali kerumah masing –masing, dan ki Jagabaya mohon untuk segera memperketat penjagaan “ kata ki lurah pada semua orang yang berada di pendopo. Mendengar perintah Ki Lurah , semua orang membubarkan diri, Ki Jagabaya pun beranjak dari duduknya bersiap untuk mengatur semua penjagaan di padukuhannya. Namun sebelum keluar dari pendopo Ki Jagabaya menjura pada Ki Demung ganjer.. “ Bagaimana Keadaanmu Kakang.. “ Ki jagabaya menyebut Ki Demung sebagai kakang walau usianya terpaut sangat jauh karena mereka adalah cantrik-cantrik Ki Ageng Pameling Jati.
“ aku Baik-baik saja adi Agung Garling… jaga dirimu baik-baik, firasatku sangat tidak enak dengan semua ini..”
“ baik kakang , mohon doa restunya” di jawab dengan anggukan oleh Ki Demung, kemudian bergegas Ki Jagabaya keluar dari pendopo.
Ki Lurah, Ki damir dan juga Ki demung tetap di pendopo, setelah ki Lurah memperkenalkan Ki Damir pada Ki Demung,dan juga menceritakan keadaan di ngambat. Ki demung Ganjer pun menceritakan pengalamannya setelah beberapa hari ini meninggalkan padepokan, apa yang dijumpainya di perjalanan mencari junjungannya Ki Ageng Pameling Jati. Memang tujuan Ki Demung meninggalkan Padepokan adalah mencari Junjungannya karena sudah berpuluh-puluh tahun dia ikut Ki ageng Pameling Jati walau hanya sebagai cantrik, baru kali ini ada kejadian seperti ini, junjungan nya pergi tanpa pesan apapun kepadanya, sehingga membuatnya bingung. Namun di tengah perjalanannya mencari Junjungannya itu dia mendapat pesan dari Ki Ageng pada sebatang Lontar, yang memintanya untuk tidak usah mencari Ki Ageng Pameling Jati , Ki demung diminta Untuk Kembali ke Padepokan dan menyelamatkan Padukuhan dan menyelamatkan Lelananging jagat yang akan datang ke padukuhan pakeman, serta mengabdi pada salah satu Murid Kiageng Pameling yaitu Ki Ageng Panyuluhan di Padepokan Sasmita Jati. Oleh karena itu Ki demung bergegas pulang ke padukuhan Pakeman, dalam perjalanan itulah dia melihat pergerakan orang –orang bintoro menuju ke Padukuhan Pakeman.
Lama mereka bercakap-cakap ..tanpa terasa matahari telah tergelincir kebarat. Kemudian atas permintaan ki Lurah, mereka beranjak meninggalkan Pendopo Padukuhan menuju ke rumah Ki lurah.

SERI PANJISAKA- GEGER DI PUNCAK MERAPI (2.1)

2


pagi ….

Kabut masih menyelimuti jalan di padukuhan itu, pada sebuah rumah ditengah-tengah padukuhan, terdengar sedang orang bercakap-cakap, rumah ki lurah prajoto, rumah yang teramat sederhana, terbuat dari dinding gedek atau anyaman kulit bambu yang sudah kelihatan tua dimakan usia, atapnya dari daun-daun kelapa kering yang diayam dan disatukan dengan sebatang bambu sebagai tumpuannya. terlihat ki lurah prajoto dan Ki Damir sedang berbicara serius, ada ketegangan diraut muka masing-masing orang paroh baya itu.

“Demikian lah to ceritanya” ucap Ki damir yang masih memanggil nama terhadap ki lurah yang menjadi sahabatnya diwaktu kecil.

“ Aku bersama den ayu harus dengan diam-diam meninggalkan pademangan, berat rasanya…

melihat teman-temanku semua terbujur menjadi mayat oleh tangan-tangan prajurit bintoro..”

“ Bagaimana dengan Ki Demang Panji sodra ?”

“ itulah….. yang mengganggu pikiranku sampai sekarang.., semua kabar dari teliksandi tak ada yang sampai padaku hingga sampai di padukuhan ini..” ujar Ki Damir dengan raut muka yang sedih.

“ Ketika terakhir bertemu dengan Ki demang adalah saat matahari sedikit tergelincir ke barat, beliau memanggilku di pasemadennya”

“ Ki Damir… sudah setengah dari umurku kamu ikut aku…..aku percaya padamu, dan mungkin ini adalah hari terakhir kita bisa bertemu, aku titip anak dan istriku padamu, bawalah mereka ke padepokan Ki Ageng Pameling Jati di lereng merapi… bawalah kabar ini pada Ki Ageng… “ ucap ki Damir menirukan ucapan junjungannya. Ki Lurah Prajoto terdiam mendengarnya, seolah sedang membayangkan prahara yang menimpa kademangan ngambat.

“ hem..hem.. wah.. kalian ini kalo udah ketemu sudah ndak ingat waktu…sampai – sampai makanan di depan mata tak juga disentuh” seloroh seorang perempuan paroh baya dari balik pintu ruangan tengah.

“ weleh..weleh… kamu Sumi toh?.. kamu jadi nyai lurah toh sekarang…” ujar ki Damir sambil beranjak dari dipan tempatnya duduk. Perempuan yang disebut sekar itu tersenyum dan berkata.

“ iya.. bagaimana keluargamu kang damir… maaf aku baru menemui sekarang , karena semalam kakang tidur begitu pulas sampai suara jangkrik di pinggir rumah takut untuk bersuara…” Ki Damir tersipu , mungkin karena capek yang teramat membuat dia langsung tidur tadi malam begitu melihat dipan, dan dengkurannya itu yang disebut menakuti jangkrik…

“ wah.. maaf kalo begitu.. aku belum kraman nyi, ndak ada yang kepincut…” ujar ki Damir

“ monggo lho diminum kopinya, mumpung masih hangat, aku mau kedalam dulu membuatkan hidangan buat den Ayu mu “ seloroh nyai lurah sambil meletakkan dua cangkir kopi panas di dipan, lalu pergi ke balik pintu.

“bagaimana to… apakah benar kata orang orang semalam bahwa Ki Ageng tidak ada di Padepokan?” meneruskan Ki Damir

“ Betul Mir.. tidak ada seorangpun yang tahu kemana Ki ageng pergi, bahkan Ki demung Ganjer cantriknyapun tidak tahu.. dan sekarang ki Demung juga tidak ada di Padepokan…”

“ Duh Gusti… apa yang harus aku lakukan..” rintih Ki Damir.

Keduanya terdiam , tenggelam dalam alam pikirannya masing-masing.

“ Kulonuwun Ki Lurah…” terdengar sebuah suara didepan rumah,

“ Monggo… o.. ki Jagabaya.. mari masuk” jawab ki Lurah sambil membukakan pintu.

Yang masuk adalah seorang lelaki bertubuh tegap, dengan kumis melintang seperti tokoh pewayangan werkudoro. Lelaki ini yang semalam menjadi pemimpin orang-orang yang mencegat Ki Damir, dari langkah dan nafasnya Ki Damir tahu bahwa orang ini mempunyai kemampuan olah kanuragan yang lumayan. Untung semalam tidak terjadi perkelahian,kalo saja terjadi mungkin akan susah menjatuhkan nya dalam 10 gebrakan. Pikir Ki damir.

Lelaki yang disebut ki Jagabaya itu mengangguk hormat kepada ki Damir, lalu ikut duduk di samping Ki lurah Prajoto.

“ Ini adalah Ki Jagabaya agung garling, dulu dia adalah cantriknya ki Ageng juga lalu oleh ki ageng diminta membantuku menjadi jagabaya” ucap Ki Lurah memperkenalkan tamunya.

“ ah.. saya hanya seorang cantrik yang lopo ki.. tidak bisa apa-apa.. “ ujar ki Jagabaya merendah. Ki damir tersenyum, senang melihat cara merendah ki Jagabaya ini, pantas kalo dia menjadi cantriknya Ki ageng.

“ Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa padukuhan dijaga siang malam seperti ini ki damir”sambung ki lurah yang mulai tidak menyebut nama pada sahabatnya itu.

“ iya kenapa Ki lurah…”

“ seperti juga kademangan Ngambat, kami juga berjaga-jaga dari amukan pasukan bintoro, karena berita yang kami dengar, mereka juga mencari Ki ageng Pameling Jati karena dianggap menyebarkan ajaran abangannya siti brit”

“ tentu saja kami tidak ingin junjungan padukuhan kami di injak-injak, oleh karena itulah kami… “ sambung Ki jagabaya dengan nafas tersengal seolah menahan amarah yang hampir meledak. “ menjaga padukuhan ini sedemikian rupa…”

Mereka bertiga mengobrol hingga waktu matahari ditengah ubun-ubun, kemudian bersama mereka menuju kependopo padukuhan yang ternyata sudah dikerumuni banyak orang, yang ingin mendengarkan penjelasan ki Lurah terhadap kejadian semalam.


Pendopo padukuhan Pakeman….

Bangunan pendopo itu merupakan bangunan tanpa dinding, hanya tiang-tiang penyangga berjumlah delapan yang terlihat tegak gagah dan menghitam, lantainya terbuat dari batu hitam persegi empat yang disusun rapi, serta licin entah bagaimana membuatnya, mungkin karena seringnya di pakai untuk duduk dan kegiatan padukuhan hingga membuat batu-batu lantai dari batu hitam koral itu licin seperti ubin.

Siang ini seluruh lantai sesak dijejali orang-orang padukuhan yang ingin mendengarkan keterangan tentang tamu desa. semua laki-laki yang tua, yang menjadi sesepuh padukuhan duduk bersila paling depan, sementara orang –orang muda dibelakangnya, bahkan ada yang bergerombol dipintu masuk pendopo serta diterasnya. Ki Lurah Prajoto terlihat duduk berhadapan dengan warganya di dampingi Ki Jagabaya Agung garling yang duduk disebelah kirinya. Sementara Ki Damir duduk di sudut kanan ruangan, sambil matanya mengamati seluruh suasana dipendopo. Ki Lurah membuka pertemuan itu dengan mengucapkan salam dan hormat pada tetua-tetua padukuhan yang hadir.

“ Para Kadang Padukuhan Pakeman sekalian, pertemuan siang hari ini merupakan pertemuan yang cukup penting bagi kita semua…. Bagi padukuhan kita..bagi anak cucu kita..” kata ki lurah lantang.lalu meneruskan.

“ di samping kita ini … orang yang jadi tamu kita semua .. yang tadi malam datang dan dicegat oleh ki Jagabaya… adalah saudara kita sendiri.. namanya ki damir dari kademangan ngambat…, mereka datang karena ingin bertemu dengan junjungan kita Ki Ageng Pameling Jati.. namun sayang bahwa ki Ageng tidak berada di padepokannya , dan kita tidak tahu kemana beliau pergi…” ki lurah berhenti sambil mengambil nafas ..

SERI PANJISAKA- GEGER DI PUNCAK MERAPI (1)

1
Malam teramat kelam ketika sebuah pedati yang ditarik seekor sapi berjalan melalui jalan setapak di lereng merapi. Hujan baru saja reda, bau tanah basah masih tercium , menyengat hidung , bersama dingin yang mengigit setiap pori-pori. Suara jangkrik dan burung – burung malam menambah suasana malam jadi semakin mencekam. Jalan setapak yang becek dan licin membuat jalanan itu sangat lengang. Jarang orang mau keluar melalui jalan setapak itu dalam cuaca yang seperti ini, bahkan mungkin binatang – binatang hutan yang biasanya menunggu mangsa yang melewati jalan itupun seperti enggan untuk keluar.
Kusir pedati berkali-kali melecutkan cemeti nya seolah tak sabar melihat jalannya sapi yang sangat lamban, namun sapi itu seperti tak peduli dengan suasana hati tuannya. sementara didalam pedatinya seorang perempuan muda dengan anaknya tertidur lelap tanpa mempedulikan teriakan dan bunyi lecutan cemeti sang kusir. Dari raut wajah perempuan itu terlihat kecemasan dan kelelahan yang amat sangat, tiba-tiba perempuan itu terbangun.
“masih jauhkah perjalanan kita ki Damir? “ Sang kusir menoleh kebelakang sebelum menjawab pertanyaan perempuan itu.
“Sepenanak nasi , kalau tidak ada aral melintang kita sudah sampai den Ayu”
“Semoga ki….”
“Sudah hampir sepekan kita lalui perjalanan ini, bagaimana keadaan kakang panji yang aki dapatkan dari telik sandi , apakah beliau masih hidup? “
“ maaf den ayu, semua keterangan sepertinya buram, bagai mbang kertas kusam….
“ Sampai detik ini saya belum mendapat kejelasan…, sejak kademangan diserang orang-orang bintoro, saya belum bisa memperoleh keterangan.” Ki damir diam sejenak, lalu menarik nafas dalam dan berat.
“ Yang paling penting sekarang adalah membawa den ayu beserta ananda Panji saka sampai di padepokan Ki Ageng pameling jati, seperti pesan ndoro kakung ki Demang Panji sodra,..
Semua diam kembali,
Hening….
Hanya suara roda pedati yang semakin bising oleh jalan yang mulai menanjak dan berbatuan.
Di kejauhan mulai terlihat kerlip-kerlip lampu sebuah dusun…
Suara lolong anjing kampung seolah menyambut kedatang pedati itu, disusul bunyi kentongan yang dipukul bersahut-sahutan. Suara titir kentongan itu bersahutan seperti ada yang memberi komando, suara titir itu sepertinya bukan suara titir kentongan biasa tapi merupakan suara tanda bahaya, Ki Damir agak was-was, dia hapal betul dengan suara titir kentongan tanda bahaya itu, sama dimana saja suara titir kentongan tanda bahaya itu, di kademangan Ngambat juga begitu untuk memberi tanda bahaya. Tak sampai sepenggalan nafas, terlihat sebuah Gapura padukuhan berdiri kokoh di kanan-kiri jalan, terbuat dari batu hitam berbentuk persegi lima berukiran naga. Tiba-tiba dari kanan-kiri jalan didepan gapura padukuhan itu bermunculan sosok-sosok manusia menghadang jalannya pedati.
“ Berhenti….” Berteriak seorang lelaki yang berdiri paling depan, sepertinya dialah pemimpin kelompok orang-orang ini. Ki Damir menghentikan pedatinya, sambil tangan kirinya bersiap memegang gagang golok yang selalu terselip di pinggang kanannya. Dalam suasana Negara sedang kacau begini apapun bisa terjadi, bahkan yang sama sekali tidak diperhitungkan pun bisa terjadi, demikian pikiran Ki Damir.
“Maaf Ki sanak…, hendak kemanakah kisanak membawa pedati ini?... dan siapakah ki sanak ini? mengapa menempuh perjalanan pada tengah malam begini menuju padukuhan kami ? “
Lega Ki damir mendengar suara yang sopan namun tegas dari orang yang menegurnya. Ki Damir kemudian turun dari pedati sebelum menjawab pertanyaan orang itu.
“ Maaf Kisanak, kalo kami sudah membuat ketidak wajaran, namun sebenarnyalah kami memang tengah mengunjungi sahabat di ereng-ereng merapi ini, …”
“ Perjalanan sepekan sudah kami tempuh dengan pedati ini dari kademangan ngambat, hanya untuk kemari…, Saya ki damir seorang abdi kademangan ngambat”
“ siapakah orang yang akan kisanak kunjungi itu? Apakah Ki ageng Pameling Jati?...
“ benar …” hampir berseru ki damir menjawab perkataan orang itu..
“ maaf kisanak Damir , kalo itu tujuan kisanak lebih baik kisanak kembali saja, karena sudah hampir satu kali purnama Ki Ageng tidak berada di Padepokannya”
“kemana ki ageng itu..?.. tiba-tiba dari dalam pedati muncul seorang perempuan dengan menggendong anak yang kira-kira berumur 3 tahun di depan dadanya, sedang tertidur pulas. Pimpinan orang-orang itu mengernyitkan alisnya pertanda tidak suka mendengar nada bicara perempuan itu.
Buru-buru ki Damir yang mampu membaca suasana itu menengahi
“ maaf Ki sanak, beliau adalah junjungan saya Den Ayu Dyah Lastriti istri dari ki demang panji sodra dari ngambat beserta putranya Panji saka”
“ aku tidak peduli kamu satria atau pandhita sekalipun, kalo maksud kalian ingin bertemu Ki Ageng, lebih baik kalian pulang,” tegas perkataan orang yang menjadi pimpinan itu , yang disambut orang-orang disekitarnya dengan mengangkat senjata, ada yang membawa golok, pacul bahkan talu pemukul lesung padi. Ki Damir menyapukan pandangan matanya pada setiap orang yang mencegatnya satu persatu, sepertinya mereka bukanlah golongan prajurit atau orang – orang yang terbiasa dengan olah kanuragan tapi mereka seperti para penduduk biasa yang entah karena apa mereka semua siap siaga angkat senjata untuk perang, pikir Ki Damir.
Suasana menjadi tegang, seluruh nadi ditubuh ki Damir meregang siap untuk menempuh segala hal. Hingga terdengar suara kaki berjalan tergesa kearah mereka.
“ Damir…damir… dodol kamu mir… lemah ini masih omahmu yang dulu ..oalah dodol…dodol..” ucapan ini keluar dari seorang setengan baya, seusia ki damir, berpakaian surjan lurik kumal, dan iket klawu, pakaian orang desa. Orang itu menyeruak diantara kerumunan orang yang sudah siap untuk perang, semua orang menoleh lalu menjura bersama-sama. ” Ki Lurah,…”
“wealah… to… prajoto… kamu to itu…” seru ki Damir , kedua orang ini kemudian berpelukan. bagaikan sahabat yang sudah lama tidak bertemu, memanglah benar, bahwa orang yang disebut parjoto oleh ki damir, dan ki lurah orang orang-orang yang menghadang ki damir itu adalah sahabat kecil ki damir. Hampir 30 tahun mereka tidak bertemu, sejak ki damir meninggalkan dukuh Pakeman menuju Ngambat dan mengabdi pada demang disana.
“Kamu tambah gagah mir… beda dengan aku…. Tanah-tanah sawah disini sudah mulai berani mengerogoti tulang-tulangku…” sapa ki Lurah prajoto ramah, ki damir tersenyum.
“ maafkan aku prajoto, telah membuat keributan ini…kami hanya…”
“sudahlah….” Potong ki lurah,” lebih baik kamu ketempatku dulu untuk istirahat, kasihan si kecil ini, dia sudah kedinginan., mari…mari…” sambung ki lurah yang kemudian menghadap kepada orang-orang yang masih berkerumun dan terheran-heran melihat sikap lurahnya. Bukankah tadi siang ki Lurah sendiri yang meminta kepada mereka untuk memperketat penjagaan kampung dan tidak memperbolehkan siapapun masuk padukuhan itu bila malam hari.
“ dan ,kalian semua.. kembalilah ketempat kalian masing-masing berjaga, besok siang kalian semua boleh mendengar penjelasanku di pendopo padukuhan”

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA(4.2)

Orang yang di panggil senopati itu menyeringai kemudian menyembah hormat pada patih Malengapati dan terseyum lebar lalu menyahut


“ Berkat doa mu kakang Patih, mungkin karena aku jadi bisa banyak makan sekarang ini di Wwatan” jawabnya yang terasa sangat lucu kedengarannya, karena bila melihat perawakannya yang begitu kurus seperti lidi orang itu mungkin malah tidak pernah makan.

“ aku tidak bisa lama-lama disini, sangatlah berbahaya” lanjut orang itu

“ Kejadian di dusun Wiyat sudah tercium oleh petinggi – petinggi di Wwatan, dan kebetulan aku yang diperintah oleh kanuruhan Panji tuluh agar menyelidiki kebenaran berita itu sehingga aku bisa segera menyusul kalian kemari “ berkata orang itu mencari kesan dari muka Patih Malengapati dan Senopati Guyang, namun kedua orang itu sepertinya tidak bereaksi apa-apa dengan berita yang di sampaikannya.

“ Lebih baik kalian segera meninggalkan tempat ini, karena aku yakin beberapa telik sandi Medang telah pula dikirim untuk menyelidiki keberadaan kalian” lanjutnya

“ Untuk menindak lanjuti apa yang telah aku bicarakan dengan kakang Senopati Guyang tempo hari, aku siap melakukannya asal apa yang kerajaan Wurawari janjikan padaku nantinya kalian tepati pula”

“ Jangan kuatir adi senopati, Raja Aji Wurawari tidak pernah mengingkari janjinya, apa lagi pada orang yang telah berjasa besar padanya, aku yang menjadi jaminannya” jawab patih Malengapati sambil menatap lekat pada orang itu.

“ Baiklah kalau demikian, aku percaya pada kalian, dan lebih baik aku segera meninggalkan tempat ini, demikian pula dengan kalian kalo bisa malam ini juga pergilah meneruskan perjalan pulang ke Lwaram” berkata orang itu sambil beranjak dari duduknya.

Suasana jadi sepi, ketiga orang itu hanya diam saling berpandangan seolah ingin menyatukan apa yang tengah menjadi pikiran mereka, sementara di luar suara jangkrik dan brung hantu seakan mengisi keheningan malam di tepi bulak Sirah itu.

Setelah beberapa waktu terjadi pembicaraan yang amat serius diantara ketiganya, akhirnya nampak sang tamu sudah bersiap siap mengakhiri pertemuan dan akan segera melangkah keluar dari tenda patih Malengapati.

“ oya, ada satu hal yang hampir aku lupa, ada Kabar dari istana kepatihan tadi pagi bahwa akan ada utusan dari Medang yang dikirim ke kerajaan Bedahulu untuk meminta anak raja dharma udayana menjadi menantu Sri Darmawangsa, pikirkanlah apa yang harus kalian lakukan terhadap hal itu” tambahnya.

Namun begitu ucapan orang itu selesai tiba-tiba di luar tenda patih Malengapati terdengar suara gaduh dari para prajurit Wurawari.

“ kuda – kuda kita lepas….. kuda – kuda kita lepas” teriak seorang prajurit dengan paniknya melihat kuda-kuda yang berlarian kesegala arah.

Sementara dari arah samping tenda patih Malengapati, tampak kuda – kuda prajurit Wurawari yang berlarian menerjang apa saja yang ada didepannya tanpa ada yang mengendalikannya, terlihat beberapa prajurit berusaha dengan susah payah mencoba menghentikan terjangan kuda – kuda itu, di tempat lain terlihat api berkobar – kobar, sedang beberapa ekor kuda nampak tengah berlarian kebingungan dengan menyeret beberapa tumpukan jerami kering yang menyala-nyala melalap semua yang di lintasinya, termasuk tenda peristirahatan para prajurit dan juga tenda senopati Guyang, seorang prajurit yang tak sempat menyelamatkan diri terbakar oleh ganasnya api dan yang lebih parah lagi, prajurit yang terbakar itu berlarian menuju kearah rekan – rekannya sesama prajurit hingga membuat suasana malam itu menjadi kacau balau.

“ Keparat, perbuatan siapa ini” Teriak Senopati Guyang yang berdiri disamping Patih Malengpati dan tamunya itu setelah keluar dari tenda patih Malengapati.

Namun belum habis gema teriakan senopati Guyang, tiba–tiba terdengar desingan beberapa warastra yang ditujukan kearah mereka. Dengan sigap senopati Guyang dan Senopati yang menjadi tamunya itu bergerak memutar pedang menangkis batang – batang anak panah hingga runtuh semua.

“ lindungi Patih “ teriak Senopati Guyang pada beberapa prajurit yang tengah berdiri di sisi tenda patih Malengapati.

Belum juga habis rasa terkejutnya, senopati Guyang di buat terperangah mendengar gemuruh suara roda-roda pedati di bagian lain yang di hela oleh beberapa orang berusaha menjauh dari tempat peristirahatan mereka.

“ kejar pedati – pedati itu, dan tangkap kembali kuda-kuda yang lepas itu, cepat laksanakan” teriaknya pada prajurit-prajurit yang berada disekitarnya, sambil langsung melesat mengejar kearah larinya pedati – pedati berisi benda berharga yang akan di bawa pulang kembali kekerajaannya.

Namun sebelum keinginanya mengejar kearah pedati – pedati itu terlaksana, terpaksa senopati dari Wurawari itu harus menahan langkahnya dan berjumpalitan menghindar, kembali ketempatnya semula karena beberapa anak panah yang dilepaskan seseorang dari arah salah satu tenda prajurit melesat kencang tepat kearahnya.

“ bangsat “ kutuknya, kemudian dengan kemarahan yang mencapai ubun-ubunnya, dia mengayunkan tinjunya ke arah dimana anak panah yang mencegat jalannya tadi berasal.

“ Aji Kaladara” teriak Senopati Guyang, seketika sebuah gelombang udara panas menghatam kearah tenda asal beberapa anak panah tadi di lepaska oleh seseorang, malang nasib beberapa prajurit yang berada di sekitar tenda itu, mereka menjadi hangus terbakar bersama tenda yang menjadi sasaran kemarahan Senopati Guyang.

Sementara itu di tengah – tengah menerpanya udara panas dari pukulan Aji Kaladara yang dilepaskan oleh Senopati Guyang berkelebat sebuah bayangan diselingi suara tawa dan melenting lalu menghilang kearah gerumbulan rumput ilalang dan gelapnya malam.

Di sisi sudut yang lain, terlihat senopati yang menjadi tamu mereka tengah bertempur seru dengan dua orang yang mengenakan penutup muka pula. Begitu seru pertempuran itu hingga beberapa gundukan rumput ilalang di sekitarnya tercerabut dari tanah.

“ Bedebah, siapa kalian ini” teriak orang itu yang berpakaian serba hitam becadar merah disela-sela pertempuran.

Namun dua orang yang menjadi musuhnya tidak mengeluarkan suara apapun, malah mereka menyerang makin beringas dari dua arah yang berlawanan. Dengan bersusah payah senopati tamu rombongan Wurawari itu berusaha menghindari serangan keris dan golok musuh yang seperti gelombang saling mengisi susul menyusul dari kiri, kanan, atas dan bawah hingga tak ada kesempatan baginya untuk mengeluarkan jurus – jurus andalannya. Sampai pada saat terdengar suitan panjang susul-menyusul dari berbagai arah, tiba-tiba dua orang penyerangnya mengeluarkan suara teriakan seperti harimau sekejap kemudian berbarengan mengeluarkan jurus bagai pusingan gangsing, merangsek menggebu dari segala arah dengan lebih ganas yang ditutup dengan melentingkan diri dan menghilang ditelan kegelapan.

“ Keparat ” teriak senopati yang kurus itu sambil berusaha menguasai jalan nafasnya yang tersengal sengal.

“ Siapa mereka …” kata Patih Malengapati yang tiba-tiba telah berada dibelakangnya bersama Senopati Guyang

“ Entahlah, aku tidak tahu, sepertinya aku pernah mengenal jurus-jurus yang mereka gunakan, tetapi aku belum bisa menebak dengan pasti dari perguruan mana mereka itu” Jawab senopati yang kurus itu dengan masih tersengal-sengal.

Namun dia terperangah melihat tatapan berapi-api dari kedua mata patih Malengapati yang ditujukan kearahnya.

“ kakang patih jangan menuduhku terlibat dengan semua ini, aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa ini, kalo toh mereka adalah telik sandi Medang tidak mungkin aku tidak tahu karena aku belum melaporkan apapun pada Kanuruhan Panji Tuluh, sehingga sangat kecil sekali kemungkinannya jika mereka adalah para telik sandi Medang “ jawab senopati kurus itu menyakinkan patih Malengapati.

Pada saat suasana yang serba tidak enak bagi tamu itu, terlihat lurah prajurit Luwar datang dengan tergopoh-gopoh menuju kearah mereka, sangat menggelikan sekali melihat keadaan lurah prajurit itu, seluruh wajah hingga kepalanya penuh dengan kotoran kuda, sepertinya dia telah terkena kotoran kuda saat mengejar kuda-kuda yang lepas tadi.

“ Ada apa ki lurah “ Tanya Senopati Guyang

“ Ampun senopati, saya ingin mengabarkan bahwa sebagian kuda-kuda yang lepas telah berhasil kami tangkap kembali, namun pedati-pedatinya tidak mampu kami selamatkan”

“apa !!!, keparat mereka itu” Teriak patih Malengapati, lalu membalikkan badannya kearah sang tamu yang masih berdiri dengan salah tingkah.

“ kau harus mampu mengungkap siapa dibalik peristiwa ini adi senopati, dan bila kau gagal maka semua janji yang telah kita sepakati aku anggap tidak ada dan kau akan menanggung semua akibatnya” kata patih Malengapati dengan tatapan berapi – api ke arah orang berdiri di sampingnya itu

“ baiklah aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengungkap siapa dibalik peristiwa ini, dan sebaiknya kalian segera pergi dari tempat ini sebelum pagi. Aku mohon diri sekarang juga” jawab senopati kurus itu tanpa menjura hormat pada patih Malengapati langsung membalik badannya menghilang ke arah gelapnya malam.

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA(4.1)

4

Menjelang malam dengan dingin yang menggigit tulang,

Di sebuah Bulak yang cukup luas, di kitari oleh padang rumput ilalang yang terhampar hampir sejauh mata memandang, serta sebuah danau kecil yang airnya begitu jernih, rombongan prajurit Wurawari sibuk menyiapkan tenda-tenda yang terbuat dari kulit kijang yang dirangkai hingga berbentuk kain panjang sebagai atap tenda, terlihat seorang prajurit dengan pangkat lurah berteriak – teriak mengatur para prajurit bawahannya agar segera menyelesaikan dan menyiapkan segala keperluan tempat peristirahatan itu.

Sementara di pinggir danau Bulak Sirah, senopati Guyang dan patih Malengapati terlihat tengah berbincang – bincang dengan wajah yang sangat serius hingga tak peduli dengan kesibukan para prajuritnya. Sampai – sampai mereka tidak sadar ketika dengan tergopoh – gopoh lurah prajurit Luwar datang mendekat kearah mereka, lurah prajurit itu terpaksa harus mengeluarkan suara batuk-batuk kecil agar kedua atasannya tersadar akan kehadirannya.

“ ada apa Lurah Luwar” Tanya Senopati Guyang setelah sadar akan kehadiran lurah prajuritnya.

“ Maaf Senopati, tenda peristirahatan ki Patih dan Senopati sudah siap untuk ditempati” jawab Luwar

“ baiklah terimakasih, tolong segera siapkan pula hidangan makan malam buat kakang patih”

“ baik Senopati, akan segera saya suruh orang – orang untuk menyiapkannya” sahut luwar. Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.

“ kapan orang itu akan datang adi Guyang “ berkata Patih Malengapati setelah lurah Luwar pergi dari tempat itu.

“ Kira-kira sebelum tengah malam nanti kakang” sahut Senopati Guyang

” Kau benar-benar yakin bahwa orang itu benar-benar bisa dipercaya dan mampu melakukan tugas yang akan kita berikan bukan”

” Ya, tentu kakang patih, aku sudah mengenalnya sejak kecil, bahkan sebelum kami menjadi prajurit, kami berdua telah berada di perguruan yang sama selama bertahunm-tahun dalam mencari ilmu kadigdayan sehingga aku tahu betul bahwa dia adalah orang yang bisa kita percaya, oleh karena itu tak ada keraguan sedikitpun yang kurasakan padanya” jawab senopati Guyang menyakinkan patih Malengapati

“Baguslah kalau begitu, akupun mengenalnya sebentar ketika kalian berdua bersama-samamasih menjadi lurah prajurit di Lwaram sebelum kemudian dia diminta oleh orang-orang Medang untuk mengabdi disana” ujar patih Malengapati

”Nanti jika dia telah datang segera kau bawa dia menemuiku, sekarang aku ingin ke tendaku dulu” tambahnya lalu bergegas berjalan menuju tendanya meninggalkan tepian danau Bulak sirah.

Senopati Guyang pun bergegas pula menuju tenda yang diperuntukkan untuknya.

Sementara itu Prahasta dan teman-temannya sudah berada di sekitar bulak Sirah pula, bersembunyi diantara gundukan tanah dan rumput ilalang yang tumbuh begitu lebatnya. Arah pandangan mereka tidak pernah lepas sedikitpun dari kesibukan yang ada di tepian danau itu.

“ kita tunggu hingga tengah malam nanti” kata Prahasta pada gringsing dan sumprit alu setengah berbisik.

“ Kita gunakan kesempatan ini untuk mengamati apa yang mereka lakukan, sambil kalian gunakan waktu untuk memulihkan tenaga karena kita harus kerja cukup keras nanti malam, sementara aku akan mencoba menghubungi kakang Wira untuk membicarakan langkah selanjutnya”

Sumprit alu dan Gringsing mengangguk tanda mengerti apa yang di katakan Prahasta. Lalu Prahasta bergegas dengan mengendap-endap menuju sisi timur bulak di mana wira dan rekan – rekannya yang lain berada.

Bulan sabit telah berada pada jalur peredarannya, menunjukkan waktu hampir tengah malam, beberapa awan gelap bergelayutan diantara sayap-sayapnya seakan-akan berusaha menutupi sinar bulan sabit yang tengah malas mengeluarkan nyanyian malamnya.

Didalam tendanya, Senopati Guyang terlihat gelisah, beberapakali dia menarik nafas dalam. Hingga tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran seseorang dengan pakaian serba hitam serta menutupi seluruh wajahnya dengan selembar kain berwarna merah yang menerobos masuk ke dalam tendanya.

“Selamat malam kakang Guyang “ berkata orang itu, yang berperawakan tinggi dan kurusdengan

Gugup Senopati Guyang mengatasi keterkejutannya akan kehadiran orang itu yang tiba-tiba telah berada dihadapannya .

“ oh, kamu Adi… syukurlah kau menepati janjimu, kau ini benar-benar tak berubah, masih saja suka membuatku terkejut karena kehadiranmu yang selalu bagai hantu ditengah malam itu” ucap Senopati Guyang pada tamunya itu setelah mampu menguasai rasa terkejutnya sambil mengumbar senyum.

”Mari segera kita menghadap kakang patih” tambah Senopati Guyang yang segera mengajak tamunya menuju tenda Patih Malengapati.

Tanpa sepengetahuan mereka berdua, beberapa mata diantara pekatnya malam tengah mencermati segala gerak – gerik yang terjadi di tempat itu.

“ Sepertinya ada yang mencurigakan dari gerak – gerik kedua orang itu, aku akan coba mendekati tenda yang mereka tuju untuk mendengar pembicaraan mereka” berbisik Gringsing pada Sumprit alu.

Kemudian dengan tanpa menimbulkan suara Gringsing mendekati tenda yang paling megah diantara tenda lainnya dimana ke dua orang yang di curigainya menuju.

“ Selamat malam kakang patih, boleh kami masuk “ berkata Senopati Guyang setelah berada di depan pintu tenda patih Malengapati, dan tanpa menunggu jawaban dari dalam tenda, dia langsung menyingkap pintu tenda dan masuk kedalam di ikuti orang yang bersamanya.

“ apa kabar adi senopati, sepertinya kau kelihatan semakin makmur saja “ berkata Patih Malengapati ditujukan untuk orang yang bersama Senopati Guyang itu.

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA(3.2)

“ Maaf teman-teman, aku terpaksa menghentikan dulu pengejaran kita disini” jawab Prahasta dengan masih berada diatas kudanya sambil menoleh pada Wira untuk memohon ijin, sebagai pimpinan rombongan Wirapun dibuat terkaget-kaget akan ulah Prahasta, sampai-sampai dia hampir saja terlempar dari atas kudanya karena harus menarik tali kekang kuda secara mendadak membuat kedua kaku depan kudanya terangkat sampai hampir terbalik, namun dia tahu betul siapa adik seperguruannya itu sehingga dengan sedikit menganggukkan kepala dia memberi ijin atas perbuatan Prahasta.


“ Menurutku kita tidak boleh mengikuti amarah yang membakar hati kita begitu saja, karena bisa-bisa kita malah mati konyol menghadapi gerombolan prajurit wurawari yang jumlahnya lebih banyak dari kita itu” lanjut Prahasta

“ lantas mau mu apa adi Prahasta” Tanya Dadung awuk orang yang bermuka sangar karena seluruh wajahnya di penuhi kumis dan brewok yang tebal

“ Kita harus memakai otak kita untuk menghadapi mereka, bukan karena aku takut berhadap-hadapan dengan mereka namun dengan jumlah kita yang cuma enam orang ini sedangkan mereka sebanyak limapuluhan orang, yang aku yakin sebagai prajurit mereka tentu memiliki bekal cukup baik dalam olah kadigdayan serta tidak menutup kemungkinan bila mereka adalah para prajurit yang kenyang akan pengalaman dalam berperang, oleh karena itu kita haruslah menggunakan strategi yang benar-benar jitu untuk mengalahkan mereka” lanjut Prahasta mencari kesan dari wajah rekan-rekannya.

“ Lantas strategi apa yang akan kita pakai untuk menghadapi mereka “ yang berkata adalah Wira pimpinan rombongan itu.

” Dengan jumlah orang yang kalah banyak dari musuh-musuh kita itu, tidaklah mungkin jika kita menghadapi mereka secara terbuka, menurutku kita harus menghadapi para prajurit Wurawari itu dengan sergapan mendadak secara diam-diam”

”Bukankah itu sebuah perbuatan pengecut” kata Dadung Awuk

”Memang benar perbuatan kita itu bisa dikatakan sebagai perbuatan pengecut, namun menurutku lebih baik dikatakan pengecut dari pada harus menanggung malu karena melakukan perbuatan konyol dan bodoh yang membuat kita menjadi mati sia-sia tanpa menghasilkan apa-apa” lanjut Prahasta

” Lalu sergapan bagaimana yang kau maksudkan itu” ucap Wira

” Kita harus berbagi tugas dan melakukan serangan secara mendadak dari berbagai arah, sehingga mereka akan mengira bahwa rombongan kita terdiri dari banyak orang, itu akan membuat pemusatan pertahan mereka menjadi kocar-kacir”

Wira,Dadung awuk dan yang lainnya mengangguk-angguk mengerti apa yang dimaksud oleh Prahasta.

“Kita harus mengejar mereka dengan menempuh jalan lain agar tidak bertemu secara langsung” tambah Prahasta yang meski termasuk orang termuda dalam rombongan murid padepokan cane itu, namun dia termasuk orang paling pintar diantara mereka, baik otak maupun kemampuan kanuragannya, sehingga walaupun dia bukan orang yang ditunjuk oleh guru mereka sebagai pimpinan rombongan, semua kata-katanya tetap di dengar oleh kakak-kakak seperguruannya, termasuk Wira yang menjadi pimpinan rombongan.

“ Kita tempuh jalan sebelah kiri dan kanan ini” lanjut Prahasta sambil menunjuk jalan yang dia maksud.

“ Dua jalan ini nanti akan bertemu di Bulak Sirah tempat kita tadi malam beristirahat. Aku yakin rombongan Wurawari itu akan bermalam pula di bulak sirah dan menurut perkirakanku mereka baru akan tiba di sana pada sore nanti”

“ Aku setuju dengan usulan adi Prahasta, kita memang tidak mungkin melawan mereka dengan cara membabi buta karena menuruti amarah” ujar Wira

“ Setelah kita tiba disana apa yang harus kita lakukan” sahut Dadung awuk

“ Kita akan berbagi tugas dan membagi rekan-rekan menjadi dua kelompok, satu menempuh jalan sebelah kiri sedang yang lain lewat jalan yang kanan, kita akan tiba di bulak sirah beberapa waktu setelah rombongan Wurawari itu sampai disana”

”Menurutku, kita masih punya cukup waktu untuk melihat-lihat keadaan setibanya di Bulak Sirah, agar kita bisa merencanakan cara yang terbaik untuk melakukan penyergapan, dan pada tengah malam nanti tepat pada saat kalian mendengar suara burung hantu tiga kali berturut – turut kita sergap mereka dari dua arah yang berlawanan, tapi aku ingatkan, kita tidak perlu membunuh, kita hanya cukup menangkap pimpinannya dan kita bawa menghadap pada Ki buyut Wiyat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya ” kata Prahasta

“ Baiklah tidak perlu berlama-lama lagi. Aku, Dadung awuk dan Gajah awu akan menempuh jalan sebelah kanan sedang adi Prahasta, Sumprit alu serta adi Gringsing menempuh jalan sebelah kiri. Bagaimana?”kata Wira

” Setuju” jawab yang lain serempak

”Mari kita berangkat sekarang, berhati-hatilah karena musuh kita amatlah banyak dan jangan lupa untuk saling menjaga satu dan yang lainnya” ujar Wira yang langsung melesatkan kudanya kearah kanan diikuti Dadung awuk dan Gajah awu. Sementara Prahasta, Sumprit alu dan Gringsingpun bergegas memacu kudanya ke arah kiri.

Minggu, Agustus 30, 2009

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA(3.1)

3
        Matahari masih berada pada seperempat langit, namun panasnya serasa membakar kulit, seolah ikut marah dengan ulah manusia durjana yang menyengsarakan sesamanya. Siang itu kesedihan tersirat di wajah seluruh penduduk padusunan Wiyat, kegembiraan yang mereka rasakan tadi malam telah sirna tak berbekas, dengan wajah yang penuh duka para lelaki, tua maupun muda, bahu membahu menyingkirkan puing-puing sisa rumah Ki Buyut Kromo Wiyat dan memilah sisa-sisa bangunan yang mungkin masih bisa di pakai lagi. Sedang yang perempuan tanpa ada yang memerintah dengan cekatan ikut pula sibuk membantu nyai Buyut mengemasi sisa – sisa barang yang berharga, adapula yang langsung mengeluarkan beras serta sayur-sayuran untuk dimasak sebagai ransum bagi mereka yang sedang bergotong royong membangun rumah Ki Buyut kembali.
Aura merah saga, marah, membakar dan menggelayuti seluruh sisi-sisi padusunan, namun penduduk padusunan Wiyat itu merasa tiada berdaya,
“Beginilah nasib kawula alit, yang hanya mampu meratapi nasib tatkala tertindas oleh para penguasa yang durjana” keluh mereka.
Sementara penduduk padusunan Wiyat sedang sibuk membangun kembali rumah Ki Buyut, dari ujung desa terlihat enam orang laki-laki berperawakan gagah tengah mengendarai kuda dengan perlahan memasuki padusunan. Melihat penampilan mereka, dengan keris dan golok yang terselip di pinggang serta endong berisi beberapa batang anak panah yang di ikat di samping pelana kuda, orang langsung bisa tahu bahwa mereka adalah orang – orang yang punya kemampuan olah kanuragan.
“ Kakang Wira, sepertinya ada sesuatu yang telah menimpa padusunan ini, lihat disana, orang – orang itu sepertinya sedang bergerombol di depan sebuah rumah yang habis terbakar” berkata salah seorang dari rombongan itu.
“ Betul adi Prahasta, seperti ada sesuatu yang telah menimpa padusunan ini. Mari kita segera kesana” jawab laki-laki berkumis tebal yang bernama wira itu sambil membedal kudanya bergegas kearah yang di tunjuk oleh temannya yang bernama Prahasta.
“ baik, ayo semua segera kita menuju kesana” teriak Prahasta, sambil ikut membedalkan kudanya diikuti oleh rekan-rekannya yang lain.
Namun betapa terkejut mereka begitu sesampainya ditempat itu, semua mata sepertinya memandang mereka dengan tatapan marah dan penuh kebencian. Wira yang merasa ada kesalah pahaman dengan kehadiran mereka, segera turun dari atas kudanya, lalu dengan ramah menjura pada orang –orang itu
“ Mohon maaf para kadang sekalian bila kehadiran kami mengganggu kegiatan kalian”
“ kami adalah para murid padepokan Cane yang akan pergi ke Kotaraja Wwatan dan secara kebetulan lewat di padusunan ini” kata Wira yang sepertinya adalah pimpinan rombongan dari padepokan Cane itu.
“ Selamat datang,…selamat datang kisanak dari padepokan Cane” kata Ki Buyut yang tiba-tiba menyeruak dari kerumunan penduduk.
“ Bagaimana kabar adi Niti Cane kisanak, apakah dia dalam keadaan sehat?,”
”Ada angin apakah kiranya yang membawa kalian para murid padepokan Cane singgah di padusunan kami ini “ tambah Ki buyut yang masih tetap terlihat ramah mesti sedang tertimpa musibah.
Rombongan murid padepokan cane itu kaget mengetahui ada orang yang kenal dengan bapa gurunya berada diantara kerumunan orang-orang desa itu.
“Bapa Guru Niti dalam keadaan sehat paman, kami secara kebetulan lewat Padusunan ini, karena kami sedang menuju ke kotaraja Wwatan untuk mengabdikan diri menjadi prajurit kerajaan Medang sesuai perintah Bapa Guru Niti, kalo boleh kami tahu siapakah paman ini dan apa yang telah terjadi pada padusunan ini paman” jawab Wira sambil sekilas mengarahkan pandangannya ke sisa-sisa bangunan rumah ki buyut yang terbakar.
“Aku adalah Ki Buyut kromo Wiyat, Padusunan ini bernama dusun Wiyat dan rumah yang terbakar itu adalah rumahku “ jawab Ki buyut sambil menghela napas teringat akan musibah yang menimpa padusunan yang dipimpinnya.
Wira ingat bahwa gurunya pernah menyebut nama Ki Buyut Kromo wiyat sebagai orang yang harus mereka hormati, karena pernah dengan sukarela memberikan bantuan tempat singgah pada bapa gurunya ketika bapa gurunya kemalaman dalam melakukan perjalanan pulang dari kotaraja Wwatan, dan karena kebaikan ki buyut itu kemudian menjadikan hubungan antara ki buyut dan gurunya bagaikan saudara kandung saja, bahkan untuk mengukuhkan persaudaraan mereka, beberapa waktu yang lalu bapa gurunya telah menjodohkan salah seorang anak muridnya bila kelak telah menyelesaikan pelajarannya di perguruan dengan anak perempuan Ki Buyut Wiyat itu.
“ Lantas apa yang telah terjadi bapa “ Tanya Prahasta yang seolah mewakili apa yang menjadi pertanyaan murid – murid padepokan Cane itu.
“ Kemarin malam dusun kami ini telah kedatangan rombongan tamu yang singgah kemari dalam perjalanan pulang dari kotaraja menuju ke Lwaram”
“ Namun entah kesalahan apa yang telah aku buat sehingga membuat mereka demikian marah padaku dan membakar rumahku ini” lanjut Ki Buyut
“ apakah rombongan itu adalah rombongan para prajurit dengan panji – panji Wurawari yang membawa tiga buah pedati bapa” Tanya Prahasta
“ ya benar, mereka baru tadi pagi, sebelum matahari terbit telah meninggalkan dusun kami” jawab Ki buyut yang kemudian menceritakan semua kejadian yang menimpa padusunannya pada anak-anak murid padepokan Cane itu.
Murid-murid padepokan Cane mendengar dengan seksama apa yang diceritakan Ki buyut. Mereka seperti tidak percaya bahwa para prajurit Wurawari begitu tega melakukan hal terkutuk setelah menerima segala kebaikan dari ki Buyut dan penduduk dusun Wiyat. Mereka masih ingat bahwa tadi pagi mereka berselisih jalan dengan rombongan itu, yang berjumlah kira – kira lima puluhan orang dengan menyeret tiga buah pedati, kesan yang mereka terima pada saat berselisih jalan itu memang kurang menyenangkan, terutama terhadap salah seorang yang sepertinya menjadi pimpinan rombongan itu, yang menatap mereka dengan tatapan tidak bersahabat serta memberikan kesan licik pada sorot matanya.
Setelah ki buyut mengakhiri ceritanya, seperti di komando murid – murid padepokan cane itu, antara satu dengan yang lain saling pandang kemudian dengan trengginas mereka meloncat ke kuda masing-masing dan memacukan kudanya menuju kearah dari mana mereka datang tadi untuk menyusul rombongan prajurit Wurawari yang telah melakukan perbuatan terkutuk di desa Wiyat.
“ Paman Buyut wiyat, kami mohon diri dulu, suatu waktu nanti kita pasti bertemu kembali, sekiranya, kami akan menuju ke kotaraja Wwatan untuk mengabdikan diri menjadi prajurit Kerajaan Medang sesuai dengan perintah bapa guru kami, namun sepertinya, kami harus menunda tujuan itu karena ada hal yang lebih penting dari sekedar menjadi prajurit pada saat sekarang ini, mohon doa restunya paman” ujar Wira pada ki buyut Wiyat sebelum membedalkan serta memacu kuda tunggangannya menyusul rekan-rekannya yang telah lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Enam orang anak murid Padepokan Cane itu memacu kuda – kuda mereka bagai orang kesetanan, amarah yang begitu membakar hati terpancar dari raut muka mereka. Apa yang telah terjadi di dusun wiyat itu telah membangkitkan jiwa untuk membela kebenaran seperti yang selalu menjadi wejangan gurunya. Debu – debu yang tercipta dari setiap langkah kuda – kuda mereka membumbung tinggi ke udara seolah ikut serta menumpahkan amarah menyelimuti sepanjang jalan yang di laluinya. Namun setelah mereka tiba di sebuah persimpangan jalan, tiba – tiba Prahasta yang berada paling depan dalam rombongan itu memberi tanda agar teman – temannya berhenti.
“ Ada apa adi Prahasta, kenapa kau menghentikan kita disini” Tanya Sumprit alu, seorang pemuda yang pendiam dengan perawakan paling besar diantara rombongan itu.

Sabtu, Agustus 29, 2009

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA-(2.3)

       Perjamuan makan malam pun digelar, ki Buyut bahkan mengundang gamelan cokekan dari desa sebelah untuk ikut meramaikan suasana malam itu, seluruh rombongan tak luput pula dari kegembiraan, mereka di buat lupa akan kegagalan tugas yang diemban dan perjalanan jauh yang masih harus mereka ditempuh menuju Lwaram. Para prajurit Wurawari larut dalam suasana penuh keakraban yang di berikan oleh penduduk padusunan Wiyat, mereka menari-nari menirukan gaya penari wanita dari rombongan cokekan yang genit dan selalu menggoda agar para penonton ikut menari bersamanya.
Sementara itu di dalam bilik sang patih, patih Malengapati dan Senopati Guyang tengah bercakap – cakap sangat pelan seolah takut didengar oleh orang lain.
“Adi Guyang, besok pagi sebelum sang surya keluar dari persembunyiannya, kita harus sudah berangkat meneruskan perjalanan ini” berkata patih Malengapati setengah berbisik
Di jawab dengan anggukan oleh Senopati Guyang
“Dan setelah kita keluar dari dusun, suruh beberapa orang kepercayaanmu untuk kembali kemari dan membakar rumah Ki Buyut Wiyat ini” tambahnya dengan masih setengah berbisik
Senopati Guyang yang mendengar perintah itu mengernyitkan dahinya, seolah tak percaya dengan perintah yang baru diterimanya, jiwanya terasa miris mendengar perintah itu
“ Mengapa mesti di bakar kakang patih? Apa kesalahan ki Buyut dan penduduk desa ini? “ Tanya Senopati Guyang juga dengan setengah berbisik
“ Kesalahan mereka adalah telah membuatku muak dengan semua celoteh mereka, seakan-akan mereka dengan sengaja mengejek kegagalan kita meminang putri Dewi Galuh”
“Dan yang lebih penting dari itu, aku ingin agar Dharmawangsa, raja yang sombong itu, sadar bahwa kita orang Lwaram tidak bisa di remehkan begitu saja”
” Tapi bagaimana bila perbuatan kita ini di ketahui oleh orang-orang kerajaan Medang mengingat jarak desa ini dengan kotaraja Wwatan tidaklah begitu jauh”
” Itulah yang aku inginkan, agar mereka tahu bahwa kita orang-orang Wurawari berani berbuat kejam secara terang-terangan di depan hidung mereka, kau paham Adi Guyang “
“ Ya aku pahamdan aku mengerti kakang patih ” jawab Senopati Guyang masih setengah berbisik, meski di dalam hatinya dia tak setuju dengan apa yang dipikirkan oleh Patih Malengapati itu, karena dia tahu bahwa ki Buyut dan semua penduduk desa ini sama sekali tak mempunyai kesalahan apa-apa, segala apa yang dilakukan oleh penduduk desa ini semata – mata adalah perbuatan yang tulus tanpa pamrih apapun dan tak berhubungan sama sekali dengan kegagalan tugas mereka meminang putri Dewi Galuh, sambil menarik nafas dalam dia lalu beranjak keluar dari bilik patih Malengapati.
Kemudian dengan bahasa-bahasa sandi, dia mulai membagi tugas pada para prajuritnya di tengah suasana pesta di pendopo rumah ki Buyut kromo Wiyat. Namun tanpa di duga oleh patih Malengapati maupun Senopati Guyang, ternyata Ki Buyut yang sudah punya firasat tidak baik terhadap para tamunya itu, dengan diam-diam dia telah menugaskan seorang magersari untuk memata-matai apa saja yang terjadi di dalam bilik patih Malengapati.
“ Ki Buyut, kita harus segera bertindak, karena mereka besok pagi-pagi buta akan membakar rumah ini” berkata magersari yang ditugaskan oleh ki Buyut dengan berbisik ditengah keramaian jamuan malam itu
Ki Buyut seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Apakah kamu tidak salah dengar Pujut? “ tanya ki Buyut pada magersari yang bernama Pujut itu
“Sumpah ki, itulah yang ku dengar dari balik dinding bilik patih itu” jawab Pujut menyakinkan
Ki buyut Terdiam sejenak memikirkan langkah apa yang mesti dilakukannya. Ki Buyut sadar, bahwa untuk melawan prajurit-prajurit dari Wurawuri itu sangat tidak mungkin, disamping jumlah mereka yang amat banyak juga tidak ada seorangpun dari penduduk desa yang memiliki kemampuan olah kanuragaan sehingga bila dia nekat melakukan perlawanan pasti akan sia-sia.
” Biarlah rumahku yang menjadi korban, dari pada mereka menumpas habis seluruh pedesaan ini” pikirnya dalam hati
“ Baiklah kalau begitu, kita tidak mungkin melawan mereka, sekarang kamu aku tugaskan untuk segera mengemasi barang-barang berharga di rumah ini secara diam-diam, nanti biar aku yang menyelamatkan orang-orang di rumah ini setelah mereka pergi, segeralah laksanakan” perintah Ki buyut, kemudian dia bergabung lagi dengan para tamu yang sedang menikmati malam perjamuan di pendopo rumahnya.
Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, magersari itupun segera bergegas melaksanakan perintah Ki buyut.
Malam telah larut
Keramaian jamuan yang diselenggarakan ki buyut kromo wiyat pun telah usai pula, menjelang pagi ketika ayam berkokok sesekali dan anjing-anjing kampung melolong menandakan hari telah beranjak pagi, seluruh rombongan prajurit Wurawari berkemas – kemas untuk berangkat meneruskan perjalanan, Senopati Guyang memohon pamit dan berterimakasih pada tuan rumah atas segala sambutan yang telah diberikan, sementara patih malengapati tetap diam membisu diatas kuda tungganganya.
“ Kita berangkat” perintah Senopati Guyang.
Ki Buyut kromo Wiyat memandang rombongan itu berlalu hingga tak terlihat, tertutup kabut pagi yang begitu padat. Menyadari bayangan rombongan orang-orang kerajaan Wurawari itu sudah tidak terlihat lagi, bergegas Ki Buyut membangunkan seisi rumah untuk segera di ungsikannya ke rumah tetangga yang agak jauh dari rumahnya sendiri.
Dengan penuh tandatanya semua penghuni rumah mengikuti perintah ki buyut, berlarian menuju ke sebuah rumah yang berada di pojok desa. Sementara Ki Buyut bersama beberapa orang magersarinya bersembunyi dibalik pagar tetehan di seberang jalan di depan rumahnya.
“Ada apa ini pujut? kenapa kita mesti meninggalkan rumah seperti orang ketakutan begini” Tanya nyai buyut setelah mereka semua merasa aman dan berada di rumah tetangganya pada Pujut yang tengah meringkuk ketakutan berselimut kain kemul di sudut rumah. Belum lagi pujut sempat menjawab pertanyaan nyai Buyut, tiba-tiba dari arah perginya rombongan orang-orang Wurawari tadi, terdengar derap kaki–kaki kuda dipacu dengan kencang dan behenti tepat didepan regol milik Ki Buyut Wiyat.
“Bakar “ teriak salah seorang prajurit yang berada paling depan.
Tanpa banyak suara para prajurit yang berjumlah sepuluh orang itu menyalakan api dan melempar obor-obor yang dibawanya kearah rumah Ki Buyut. Hingga terlihat rumah yang hanya terbuat dari bahan kayu itu terbakar oleh api yang dengan cepat mulai merataki seluruh bagunan. Setelah puas melemparkan beberapa obor yang di pegangnya, pimpinan prajurit yang tadi mengeluarkan perintah itu, mengambil sebatang anak panah dari endongnya yang di sulut api kemudian melesatkannya keatas sebagai tanda bahwa tugas telah terlaksana dengan baik.
“ Kembali “ teriak pimpinan prajurit itu lagi.
Peristiwa itu terjadi dengan sangat cepat, sehingga penduduk yang keluar dari rumah untuk mengetahui apa yang terjadi akhirnya hanya bisa diam melihat rumah Ki Buyut terbakar dan rata oleh tanah

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA-(2.2)

Sejenak suasana hening, mereka berdua terhanyut dalam alam pikirannya masing-masing, sementara kuda-kuda yang mereka tunggangi berjalan amat perlahan menyusuri jalan tanah becek membawa tuannya yang tengah dirudung nestapa.
“Kita berhenti istirahat dulu di desa depan itu, rasanya perjalan pulang ini teramat melelahkan, bagaimana menurutmu Adi Guyang”
“Baik kakang patih aku juga sudah merasa penat seharian penuh berjalan tanpa henti, biar para prajurit dan kuda-kuda kita juga bisa beristirahat serta melemaskan otot – ototnya apalagi perjalanan masih sangat jauh “ jawab Senopati Guyang yang kemudian segera memerintahkan seorang prajurit untuk mendahului menuju desa yang akan menjadi tempat singgah rombongan mereka.
Tanpa menunggu perintah dua kali, prajurit itu bergegas mendahului rombongan menuju desa yang akan menjadi tempat peristirahatan itu, sesaat saja bayangannya telah terlihat mengecil didepan karena kudanya dipacu dengan sangat kencang.
Matahari mulai terlihat condong ke arah barat,
Candikala pun mulai menempati tepian cakrawala di bumi belahan barat, ketika rombongan patih Malengapati tiba disebuah desa kecil, yang hanya terdiri dari beberapa banguna rumah saja, namun yang amat menarik untuk dilihat di desa itu adalah keadaan yang ada di sana. Meski jarak desa itu cukup jauh dari kotaraja Wwatan, karena harus ditempuh dalam waktu satu hari penuh berkuda tanpa henti, suasana kehidupan yang aman dan tenteram serta penataan bangunan rumah-rumah dan jalan-jalannya sangat teratur indah dengan pagar tetehan yang lurus sejauh mata memandang serta dengan tinggi yang sama rata berjajar di pinggir jalan didepan rumah-rumah penduduk, suasana itu desa itu terasa sangat kental dengan ciri khas perkampungan yang berada di kotaraja Wwatan.
Tanpa terasa meremang bulu kuduk patih Malengapati menyaksikan keadaan desa itu, diam-diam dia harus mau mengakui kebesaran kerajaan Medang dibawah kekuasaan Sri Dharmawangsa yang mampu membuat pengaruh kekuasaannya begitu terasa hingga ke pelosok-pelosok negeri.
“Dengan cara bagaimana Wurawari mampu mengungguli kebesaran Medang” pikirnya
Hati manusia terkadang memang teramat kerdil dan picik, terbius akan keserakahan dan selalu melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri, yang teramat sempit. Begitu pula dengan Patih Malengapati, rasa marah, terhina oleh kata-kata Sri Dharmawangsa menjadikannya merasa muak dengan keadaan yang ada desa itu
Beberapa saat kemudian, mereka berhenti disalah satu rumah yang terbilang paling besar, meskipun bila dibandingkan dengan rumah - rumah yang ada di kotaraja Wwatan, mungkin rumah itu menjadi paling kecil. Seorang lelaki tua, berumur kurang lebih enampuluh tahun namun masih terlihat gagah, berdiri di depan regol rumah menyambut kedatangan rombongan orang Wurawari itu
“Selamat datang tuan-tuan sekalian, sebuah kehormatan kiranya tuan-tuan sudi singgah di desa kami yang kecil ini, mari…mari silahkan masuk” berkata dengan ramah laki-laki tua itu, yang telah mengetahui kedatangan rombongan Wurawari dari prajurit yang ditugaskan oleh Senopati Guyang untuk mendahului rombongan tadi
“ Terimakasih Kisanak, siapakah kisanak ini dan apa nama pedusunan ini? “
“Kami adalah rombongan dari kerajaan Wurawari yang sedang menempuh perjalan pulang dari kotaraja. Saya Senopati Guyang dan beliau adalah Patih Malengapati“ yang menjawab adalah senopati Guyang sambil menoleh kearah patih Malengapati karena melihat sang patih hanya diam membeku diatas kudanya.
“Saya adalah buyut di desa ini, nama padusunan ini adalah desa wiyat dan orang-orang memanggil saya ki buyut Kromo wiyat.” Jawab ki buyut ramah
“Mohon maaf, bila kami tidak bisa menyambut tuan-tuan sebagaimana mestinya, mari silahkan masuk ke gubuk kami” lanjutnya agak tak enak hati melihat keadaan patih Malengapati yang diam saja, kemudian ki Buyut Kromo Wiyat mendahului para tamunya masuk diikuti oleh patih Malengapati dan Senopati Guyang.
Sementara itu para prajurit dibawah komando Lurah prajurit Luwar yang merupakan tangan kanan Senopati Guyang, sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang menggelandang kuda-kuda rombongan agar mendapatkan tempat cukup luas untuk merumput, ada pula yang tetap berjaga – jaga di dekat pedati – pedati yang berisi upeti yang amat berharga, yang ditolak oleh Sri Dharmawangsa
Di tempat lain, kesibukan pun terjadi di bagian belakang rumah, istri, beserta anak perempuan ki Buyut Kromo Wiyat dan juga para magersari yang dibantu oleh para tetangga yang dengan suka rela bersedia datang ke rumah Ki Buyut tanpa diminta, sibuk ikut menyiapkan makanan untuk para tamu, bagi mereka warga dusun wiyat adalah sebuah anugerah tersendiri, bila desa mereka di datangi rombongan dari istana meskipun rombongan itu hanyalah rombongan dari kerajaan bawahan kerajaan Medang
Suara canda tawa terdengar ditengah-tengah kesibukan di belakang rumah membuat para prajurit yang kelelahan oleh perjalanan pulang itu serasa telah berada ditengah-tengah keluarganya sendiri, mereka sangat gembira, sambil duduk – duduk berkelompok di lantai pendopo, ada yang melepas lelah dengan berusaha tidur-tiduran,ada pula yang menghibur teman-temannya dengan menembangkan lagu meski suaranya tak enak ubtuk didengar.
Lain pula yang rasakan oleh patih Malengapati, suara canda tawa itu terasa seperti mengejek kegagalannya meminang putri Sri Dharmawangsa. Namun semua itu disimpanya dalam hati, malah tanpa berkata sepatah katapun pada tuan rumah yang masih terlihat sibuk mengatur pendopo agar bisa digunakan untuk beristirahat oleh para tamunya, dia berjalan menuju bilik kamar yang di peruntukkan untuknya dan tidak keluar-keluar lagi.
Ki Buyut kromo Wiyat sebenarnya mengetahui sikap yang tidak menyenangkan dari tamunya itu, namun dia berusaha tetap ramah dan menjadi tuan rumah yang baik. Hal itupun tak luput dari perhatian Senopati Guyang, sehingga dia berusaha untuk mencairkan suasana dengan ngobrol kesana kemari dengan tuan rumah.

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA-(2.1)

2
Patih Malengapati adalah utusan dari kerajaan Wurawari itu, utusan yang mewakili rajanya melakukan pinangan pada Sri Dharmawangsa, didampingi senopati Guyang terpaksa harus pulang dengan tangan hampa, dan yang lebih menyakitkan lagi baginya adalah bukan hanya pinangannya yang ditolak mentah – mentah namun lebih daripada itu seluruh upeti yang tadinya akan dipersembahkan pada Raja Dharmawangsa sebagai tanda taliasih pinangan, terpaksa harus pula diusung kembali ke Lwaram.
Rasa marah, terhina dan segala macam rasa tidak menyenangkan menyelimuti perjalanan pulang rombongan itu ke Lwaram
“Sampaikan pada Rajamu Aji Wurawari, bahwa aku tidak ingin mengambilnya sebagai menantu, dan bawa pulang semua upeti yang kalian bawa itu kembali ke Lwaram, berikan saja pada rakyatmu disana agar mereka tambah sejahtera” kata Sri Dharmawangsa pada saat pasowanan di bale pendapa, bangsal dalam di istana Wwatan.
Menyakitkan sekali,
Sedih berbaur dengan amarah dirasakan Patih Malengapati, dan kata - kata Sri Dharmawangsa itu selalu terngiang dalam benaknya, tertanam tandas hingga ketulang sumsum, menghujam dalam kedalam relung-relung hatinya, yang menggelora menjadi bara api dendam tak terkira
Patih Malengapati begitu terpukul oleh peristiwa itu, dia merasa bersalah pada junjungannya Raja Aji Wurawari, dia yang mengusulkan pada rajanya untuk melamar Putri Dewi Galuh anak Srimaharaja Dharmawangsa, dia berangan - angan seandainya rajanya Aji Wurawari bisa menikah dengan putri Dewi Galuh sekar kedaton kerajaan Medang, putri satu – satunya Srimaharaja Dharmawangsa, tentulah kerajaan Medang akan berada dibawah kekuasaan Wurawari, dan tentu dialah yang akan menjadi orang nomer dua di kerajaan itu, menjadi mapatih di kerajaan yang sangat besar, orang yang punya kuasa sangat luas dalam menentukan jalannya sebuah kerajaan, tidak seperti sekarang ini meski dia berpangkat patih namun dia hanyalah seorang patih di sebuah kerajaan bawahan, kerajaan yang tak bisa leluasa menjalankan roda pemerintahannya karena harus selalu patuh pada kerajaan yang menguasainya.
“Apa kekurangan raja ku, hingga Sri Dharmawangsa menolak pinangannya, Kerajaan Wurawari adalah kerajaan yang selalu setia pada Medang, dan kerajaan bawahan yang selalu paling banyak memberi upeti pada setiap Pasowanan Ageng dibangdingkan dengan kerajaan bawahan lainnya” berkata dalam hati Patih Malengapati sambil menarik nafas dalam - dalam
Sementara Senopati Guyang yang berkuda disampingnya, diam – diam merasa prihatin dengan keadaan sang patih, dia ikut pula merasakan beban yang tengah menghimpit di dada sang patih dari Wurawari itu
“Maaf kakang patih, aku ingin bicara “ Senopati Guyang mencoba membuka pembicaraan dengan patih Malengapati
Patih Malengapati menoleh kearahnya lalu mengangguk pelan.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang”
“Bagaimana kakang patih akan menyampaikan peristiwa ini pada sri baginda Aji Wurawari?”
Patih Malengapati terdiam, rasa sesak di dadanya sekarang inipun karena memikirkan itu, memikirkan jawaban apa yang harus disampaikannya pada rajanya, terbayang kemurkaan junjungannya Sri baginda Aji Wurawari bila mengetahui kejadian ini. Itu pasti terjadi, dan dia adalah orang satu – satunya yang akan menerima murka itu.
“ Aku tidak tahu apa yang akan aku katakan pada sri baginda nanti, kemarahannya telah terbayang dipelupuk mataku ini bila nanti aku ceritakan apa yang terjadi pada kita “ jawab patih Malengapati sesaat setelah menarik nafas dalam-dalam
“ Apakah tidak sebaiknya Kakang Patih sampaikan saja apa adanya, tentang apa yang dikatakan Sri maharaja Dharmawangsa di pasowanan itu karena menurutku sudah tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain mengatakan apa ada “ jawab Senopati Guyang
“Yah… mungkin itu lebih baik, meskipun karena itu kita harus mendapat murka baginda Aji Wurawari “ jawab patih Malengapati

Jumat, Agustus 21, 2009

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA-PENDAHULUAN

AIRLANGGA
MAHAPRALAYA MEDANG
KARYA : EDHI VIR


MAHAPRALAYA MEDANG
Sejarah adalah sebuah rentang dimensi masa lalu yang menjadi pondasi kehidupan masa yang akan datang, sebuah alur cerita peradaban manusia yang penuh dengan segala karya-karya besar para pujangga, yang penuh dengan segala intrik – intrik peperangan dan perpecahan sebuah bangsa oleh tipu daya manusia, dan juga penuh dengan legenda kebudayaan dengan segala kejayaan beserta kebesarannya.
Adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya yang mendirikan kerajaan Medang atau kerajaan mataram kuno atau di sebut pula dengan kerajaan mataram hindu pada sekitar abab ke-8 ( delapan ) ber ibukota di Medang I bhumi Mataram yang sekarang lebih dikenal dengan nama Yogyakarta dan sekitarnya, menjadi salah satu bukti torehan sejarah yang tercatat begitu dalam sebagai salah satu tonggak awal kehidupan kerjaan-kerajaan di nusantara selanjutnya.
Pada saat mendirikan kerajaan Medang, suasana negara dan tatanan masyarakat pada waktu itu teramat sangat kacau, setelah terjadi pemberontakan di kerajaan galuh oleh Purbasora yang merasa lebih berhak atas tahta kerajaan Galuh, Sanna raja Galuh pada saat itu akhirnya mengungsi ke kerajaan Kalingga yang merupakan kerajaan nenek istrinya yaitu Maharani Shima. Sanjaya yang merupakan keponakan dari sanna raja galuh, tampil dan bertekad ingin merebut kembali kerajaan pamannya Sanna, dengan bantuan Tarusbawa raja Sunda pada waktu itu, namun sebelumnya Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus di pegunungan Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal dan akhirnya dengan melakukan serangan mendadak pada tengah malam, Sanjaya berhasil merebut kembali kerajaan galuh dan membasmi habis keluarga Purbasora.
Atas dukungan ibunya yaitu Sannaha saudara perempuan raja Sanna, Sanjaya kembali ke Kalingga menjadi raja disana dan mengganti nama kerajaan menjadi Kerajaan Medang yang beribukota di Mataram ( Medang I bhumi Mataram ) dan sejak itu berdirilah kerajaan Medang di pulau jawa dibawah kepemimpinan Dinasti Sanjaya atau Wangsa Sanjaya ( prasasti Canggal tahun 732 )
Bersama bergulirnya sang waktu, sejarah mencatat terjadinya pergantian tampuk kekuasaan kerajaan – kerajaan ditanah jawa, dari wangsa Sanjaya ke wangsa Sailendra hingga ke wangsa Isyana yang didirikan oleh Mpu Sindok.
Berawal karena letusan gunung merapi yang sangat dahsyat hingga menghancurkan seluruh istana kerajaan medang, yang pada saat itu dyah Wawa adalah Raja yang berkuasa di Kerajaan Medang sementara Mpu Sindok menjabat Rakryan Mapatih Hino.
Konon sebagian puncak Merapi hancur, Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Seluruh istana Medang di bumi mataram dan seluruh isinya musnah tak berbekas. Mpu Sindok yang pada saat itu baru saja memenangkan peperangan dengan bala tentara Kerajaan Sriwijaya (Perang Gejag) kemudian memindahkan ibukota kerajaan Medang ke daerah Tawlang di timur pulau jawa, kemudian dipindah lagi ke Watugaluh.
Jadilah Mpu Sindok sebagai raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang memerintah sekitar tahun 929 – 947, bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Mpu Sindok dianggap sebagai pendiri dinasti baru bernama Wangsa Isyana, tercatat dalam sejarah bahwa permusuhan kerajaan Medang dengan Sriwijaya tetap berlangsung hingga kecucu dan cicitnya, sejarah mencatat pula kemenangannya dalam mengalahkan serbuan bala tentara kerajaan sriwijaya di daerah Anjuk Ladang yang dikenal dengan perang Gejag atau perang besar.
Setelah Meninggalnya Mpu Sindok, berturut – turut terjadi peralihan kekuasaan pada keturunan Wangsa Isyana, dari Sri lokapala, kemudian Makuthawangsawardhana, hingga raja terakhir kerajaan Medang Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa yang naik tahta menggantikan ayahandanya Makuthawangsawardhana pada tahun 991, Kerajaan Medang di bawah kepemimpinan Dharmawangsa teguh ini sangatlah makmur, gemah ripah loh jinawi dan berhasil pula menguasai sebagian Kerajaan Sriwijaya (tahun 992 dan 997), Kejayaan masa kepemimpinan Darmawangsa teguh ini tentulah banyak menyimpan dendam yang berlarut – larut dari mereka yang merasa tertindas, hingga ber awal lah sebuah cerita kepedihan dan jeritan kematian yang di kenal dengan sebutan Mahapralaya atau Kematian Besar dalam sejarah negeri ini

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA-(1)

1


Dingin udara pagi itu seolah menusuk - nusuk kulit hingga serasa menembus tulang sampai menyusup kedalam sumsum, ayam jago pun sepertinya enggan untuk bernyanyi membangunkan mentari yang tak juga terbangun dari lelap tidurnya. Tanah – tanah dan rerumputan basah oleh hujan deras tadi malam, hujan terakhir memasuki musim kemarau atau Mangsa saddha yang beranjak dari bulan Phalguno menuju bulan Caitra. Begitu pula padi - padi di sawah yang menghijau dan siap untuk dipanen, semua rebah tak beraturan terlindas hujan yang tercurah dari langit, bagaikan derasnya aliran air yang turun terhempas dari puncak grojogan sewu tempat para dedemit bercengkrama sembari menguras air didalamnya, membuat anak-anak kecil semakin meringkuk dan menyusup dalam pelukan sang bunda. Habis sudah harapan para petani untuk berpesta panen di bulan depan. Hampir bisa dipastikan mereka takan pernah merasakan hasil jerih payah menanam padi berbulan-bulan yang lalu.

Mereka yang masih punya iman dan percaya akan kuasa yang maha agung akan menganggap bencana ini sebagai peringatan tentang segala kesalahan – kesalahan yang telah di lakukan nya di waktu - waktu yang lalu, sementara bagi mereka yang lemah imannya merasa bahwa bencana ini adalah sebuah musibah yang tidak mampu mereka cerna secara nalar.
Manusia memang manjadi sarang hawa nafsu yang baik dan buruk, bila manusia itu sadar akan makna keberadaannya di muka bumi, maka peristiwa seperti ini tentulah menjadi pembelajaran terhadap segala hal yang di jumpainya sebagai kodrat seorang hamba, kodrat seorang manusia di dalam rengkuhan sang penciptanya, yang hanya mampu memohon dengan segala upaya agar keberadaannya menjadi bermanfaat bagi jagat raya ini, berbeda dengan manusia yang tidak sadar akan kodratnya, peristiwa musibah yang menimpa mereka akan menjadikan semakin jauh dari sang kuasa, menjadikan mereka picik, yang akhirnya akan melakukan pengerusakan dimuka bumi agar dapat mengejawantahkan hawa nafsu buruknya dengan perbuatan - perbuatan tercela serta nista.

Istana Medang yang berada di kotaraja Wwatan tak luput pula dari serangan hawa Dingin yang menusuk - nusuk tulang itu, menyusupi semua sekat - sekat ruang yang ada di istana, tak peduli apakah dia hanya seorang pekatik penjaga istal kuda, emban ataupun prajurit bahkan sri maharaja Dharmawangsa teguh, Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa, yang sudah sedari tadi malam hanya terpaku duduk diam dibalai peraduannya, tak mampu memejamkan mata untuk tertidur, tak luput pula dari sergapan hawa dingin yang menusuk-nusuk tulang itu, hawa dingin yang menyusupi seluruh tulang-tulang terasa semakin menambah beban berat yang tengah di tanggungnya.

Sudah hampir lima belas tahun Srimaharaja Dharmawangsa mengemban amanat Ayahandanya, Srimaharaja Makutawangsawardhana, namun baru kali ini dia merasakan begitu berat dan pelik masalah yang harus dihadapinya, penuh dan sarat menindih alam pikirannya.

Begitu banyak sudah peperang telah dijalani hingga mampu mengalahkan musuh – musuh kerajaannya, termasuk musuh bebuyutannya, kerajaan Sriwijaya, begitu melimpah kendala-kendala dalam mengarungi tonggak kekuasaannya, begitu kukuh pula dia mempertahankan kemakmuran bagi rakyatnya, namun peperangan demi peperangan, kendala demi kendala yang dihadapinya terasa tak seberat beban yang tengah di tanggungnya sekarang ini.

Sebagai seorang raja, Srimaharaja Dharmawangsa merasa beban masa depan kerajaan yang sekarang ada dalam kekuasaannya, masa depan tahta kerajaan Medang setelah dia lengser dari tampuk kepemimpinan nanti, haruslah segera terpecahkan, Dharmawangsa sadar bahwa dia hanya memiliki seorang Putri, sekar kedaton Dewi Galuh, tak mungkin bila dia membiarkan putri satu – satunya yang amat dia sayangi itu, harus sendirian mengemban tugas berat dalam mengarungi tampuk kekuasaan kerajaan Medang. Oleh karena itu harus dicarikannya seorang pendamping yang punya bobot-bibit-bebet yang baik serta mampu mendampingi putrinya duduk sebagai penguasa di Kerajaan Medang dan juga harus memiliki darah raja-raja besar, seperti darah yang mengalir dalam tubuhnya, yang mengisi setiap nafas dan pori-porinya, darah yang agung, darah Wangsa Isyana yang perkasa.

Banyak sudah para raja - raja bawahan yang ingin menjadikan putrinya sebagai menantu atau istri, namun semua tidak ada yang diterima dan menyangkut di hati Srimaharaja Dharmawangsa, hingga yang terakhir, datanglah utusan Raja Wurawari dari Lwaram (daerah disekitar Cepu,Blora) dengan membawa segala upeti sebagai tanda taliasih pinangan berupa pundi – pundi emas dan perak, kain-kain sutera serta mutu manikam yang tak terhitung banyaknya,untuk meminang sang buah hatinya sekar kedaton Dewi Galuh, namun tetap saja hati Darmawangsa bergeming, tidak ingin merestuinya, karena dia sangat mengenal tabiat raja Wurawuri yang sekarang berkuasa di Lwaram itu, disamping Raja Wurawari bukan garis keturunan wangsa isyana juga menurut kabar terpercaya yang di bawa oleh telik sandi Medang bahwa Raja Wurawari secara diam – diam sering berhubungan dan melakukan perdagangan dengan kerajaan musuh bebuyutannya, Kerajaan Sriwijaya, itulah dasar ditampiknya pinangan dari Wurawari.

Namun sepulangnya utusan Wurawari, Sri Dharmawangsa teguh merasa akan terjadi sesuatu yang besar menimpa Medang, sehari sebelum utusan dari Lwaram itu datang, dia bermimpi dampar kencana yang tengah didudukinya terbakar dan hangus dimakan api, mimpi yang begitu nyata, hingga mampu menguasai bhatin sang penguasa Medang itu.

“ Apa yang akan terjadi dengan Medang, mengapa mimpi itu begitu terasa nyata” pikir Sri Dharmawangsa.
Sri Dharmawangsa terus mengepalkan tangannya, berdiri menatap lurus lekat – lekat keluar jendela seolah mencari - cari jawaban dari kabut pagi yang menyelimuti taman di depan biliknya.
“Prajurit, segera kau panggil Mapatih Tepu kemari, suruh dia menghadap padaku sekarang juga” teriak Sri Dharmawangsa
Prajurit jaga yang selalu setia menjaga di depan pintu kamar peraduan rajanya, segera bergegas melaksanakan perintah junjungannya begitu mendengar suara teriakan dari dalam kamar peraduan Sri Maharaja.
“Sendiko Sri Maharaja” Jawab prajurit itu
Lalu bergegas beranjak menuju istana kepatihan yang berada di sebelah barat istana utama
Tak membutuhkan waktu terlalu lama untuk menunggu kedatangan Mapatih Tepu, yang selalu setia mendampingingi rajanya dalam suka dan duka.
Mapatih Tepu atau Rakyan Mapatih hino Mpu tepu adalah salah satu kerabat dekat Sri Dharmawangsa, karena Mpu Tepu masih cucu lain ibu, dari kakeknya Sri Isyana Tunggawijaya.
Mpu Tepu atau Mapatih Tepu masuk kamar peraduan Srimaharaja dengan perasaan penuh tanda Tanya, lalu menyembah penuh hormat pada sri Dharmawangsa
“ Kemarilah kakang Patih, duduklah di sebelahku”
Dengan dipenuhi segala sakwasangka Mpu Tepu yang sudah cukup umur itu beringsut perlahan di sisi Sri Dharmawangasa
“Sendhika sinuwun”
“ Hujan begitu lebat tadi malam, sepertinya ada badai yang telah melanda beberapa kawasan kerajaan, Kakang Patih” Sri Dharmawangsa memulai membuka pembicaraan
Mapatih Tepu tahu bahwa ungkapan itu tidak perlu dijawab, maka Mapatih Tepu hanya mengangguk pelan
“ Kakang Tepu, kakang pasti bingung kenapa aku memanggilmu di pagi buta seperti ini”
“Sebenarnya sudah beberapa hari ini aku dilanda gundah, serasa selaksa beban tengah menindihku, terasa penat yang terlalu sarat menghujam di kisi – kisi hatiku ” Sri Dharmawangsa mengakhiri ucapannya dengan menghela nafas panjang
Sementara Mapatih Tepu hanya diam menyimak kata-kata yang keluar dari mulut Sri Dharmawangsa, seolah-olah takut kalau kehilangan satu kata saja dari ucapan junjungannya
“Seperti kakang Patih ketahui, Kemarin telah datang lagi utusan dari sebuah kerajaan bawahan Medang, dari Lwaram untuk melamar putriku Dewi Galuh, Sebagai seorang Patih tentu kakang tahu, mengapa aku tidak menerima lamaran Raja Wurawari itu. Terutama karena dia bukanlah keturunan Wangsa Isyana, tidak ada setetespun darah isyana yang mengeram ditubuhnya.”
“Bagaimana aku harus bertanggung jawab pada mendiang Ramanda Sri Makuttawangsawardhana, bila kekuasaan kerajaan Medang harus jatuh pada orang yang bukan keturunan Wangsa Isyana” Sri Dharmawangsa diam sejenak seolah ingin menumpahkan seluruh beban yang ada pada patihnya
“Ditambah lagi, kita semua tahu siapa itu Aji Wurawari, dia hanyalah seorang raja yang suka phetentang - phetenteng, seorang raja yang licik, culas dan bermuka dua”
Mpu Tepu hanya diam tak bergerak mendengar segala yang di ucapkan oleh Sri Dharmawangsa. Sementara angin pun seperti tak berani berhembus karena takut mengganggu curahan hati seorang raja yang tengah dilanda kegalauan.
“Ada satu hal lagi yang begitu sesak membebani hatiku, sebelum utusan wurawari itu datang, malamnya aku bermimpi, dampar kencana yang tengah aku duduki terbakar, habis tak tersisa…”
”Sebagian orang yang melihat menangis, berteriak-teriak, namun tak melakukan apa-apa, sedang sebagian lagi tertawa, menyeringai penuh dendam seakan mentertawakanku yang berlarian terbirit-birit menyelamatkan diri dari panasnya api”
Rakyan Mapatih I hino Mpu Tepu tersentak dari duduknya mendengar kata - kata itu
“Apakah ini pertanda bahwa Medang akan runtuh seperti yang dikatakan oleh Bapa Guru Resi Wisa Satya padaku tempo hari “ Mpu Tepu berkata dalam hatinya
Masih begitu membekas di hati Mpu Tepu apa yang di ungkapkan Resi Wisasatya yang beberapa hari lalu sengaja menemuinya, seorang resi yang maha sakti yang juga merupakan bapa gurunya dalam olah kadigdayan dan agama, mewartakan sesuatu yang sangat tidak masuk diakalnya.
“Anakku Tepu yang bijaksana” demikian Bapa Guru Resi Wisasatya memulai pembicaraan dengannya beberapa hari yang lalu
“Mohon maaf bila apa yang akan aku sampaikan ini, akan membuat beban yang kau emban dalam menjaga amanah rakyat medang ini menjadi bertambah berat, namun aku yang sudah tua inipun tak kuasa untuk menyimpannya darimu, amatlah berat bila aku yang tua ini harus menyimpan terus wangsit yang kuterima itu”
“Disaat aku mesupati di kaki Pegunungan Wilis tempohari, aku mendapati suatu pertanda yang sangat tidak baik bagi keutuhan kerajaan Medang” Resi Wisasatya berhenti menarik nafas sejenak,
Sementara Mpu Tepu terdiam mendengar setiap patah demi patah kata yang terucap dari bibir bapa gurunya itu
“ Pada dasarnya manusia di alampada ini hanyalah jalma wadag yang menjalankan titisan luhur sang wicaksana, sehingga bila telah tiba titimangsanya, semua hanya bisa pasrah manjalani kodrat serta takdir yang telah digariskannya”
“Demikian pula dengan kerajaan Medang yang jaya dan gemah ripah loh jinawi ini, tak luput pula dari takdir yang digariskan untuknya, akan Sirna lela oleh prahara yang maha dhasyat meluluh lantakkan semua yang ada di tanah Medang i bhumi Wwatan ini ”
Terhentak bagai tersambar petir Mapatih Tepu mendengar ucapan bapa gurunya Resi Wisasatya itu, bagaimana mungkin disaat keadaan Kerajaan Medang sedang dalam masa kegemilangannya ini bisa dilanda prahara, dimana-mana rakyat bersuka cita karena negara aman sentosa, sandang pangan berlimpah ruah, lumbung-lumbung selalu penuh berjejal padi dan hasil ladang lainnya, pikir Mpu Tepu. Namun Mpu Tepu tidak berkata apa - apa mendengar semua yang dikatakan bapa gurunya yang sudah terlihat bertambah tua itu
” Kau adalah orang yang ikut menjalankan tata pemerintahan kerajaan Medang ini , mulai sekarang haruslah lebih berhati-hati, kau harus lebih cermat dan bijaksana dalam menjalankan semua yang menjadi tanggung jawabmu anakku” tambah Resi Wisasatya
Mpu Tepu, Mahapatih Kerajaan Medang, orang kedua yang berkuasa dan ikut menjalankan tata pemerintahan setelah Srimaharaja Dharmawangsa, hanya mengangguk tanda mengerti, akan apa yang telah di sampaikan oleh Resi Wisasatya itu namun tetap tak mampu menangkap makna dari perkataan bapa gurunya. Hingga Resi tua itu berpamitan untuk kembali ke lereng gunung Wilis dimana padepokannya berada, Mapatih Tepu masih tetap terdiam membeku menghantar kepergian Resi sakti itu dengan tatapan mata yang kosong
Namun di tengah pagi buta ini, dia mendengar sendiri, tentang apa yang telah di utarakan oleh Resi Wisasatya itu, dirasakan pula oleh rajanya, sri Dharmawangsa teguh anantawikramatunggadewa.
“Bagaimana menurutmu kakang patih” kata Dharmawangsa ketika melihat patihnya diam dalam lamunanya
Mpu tepu terbangun dari lamunannya mendengar pertanyaan baginda Sri Dharmawangsa sampai dia tersedak udara pepat yang tiba - tiba memenuhi rongga dadanya.
Sejenak setelah menarik nafas panjang hingga terasa seluruh rongga - rongga dadanya terpenuhi oleh udara, dia berkata pada junjungannya
“Mohon Maaf Sri Maharaja yang adil lagi bijaksana junjungan para kawula kerajaan Medang. Kesayangan para dewata agung”
“Menurut hamba yang bodoh ini, mimpi yang srimaharaja alami itu tak lain hanyalah sebuah rangkaian bunga di kala tidur, karena semua orang juga bisa bermimpi yang bukan-bukan, mohon Sri baginda jangan terlalu memikirkannya”
“Lebih baik kita berdoa dan berpasrah diri pada yang kuasa, agar apa yang menjadi mimpi baginda hingga menimbulkan resah dihati, tidak pernah menjadi nyata”
“Dan yang perlu kita pikirkan sekarang adalah masa depan kerajaan Medang, yang tentu erat hubungannya dengan Ananda putri Srimaharaja, Sekar Kedaton Dewi Galuh, putri yang menjadi cahaya terang dan tumpuan kasih sayang seluruh rakyat Medang” ucap Mapatih Tepu yang berusaha menenangkan hati junjungannya, meskipun perasaannya sendiri terasa penuh pepat oleh rasa was - was.
Sri Dharmawangsa beranjak dari kursinya, berjalan menuju jendela kamarnya, seolah ingin membuang semua kepenatan hatinya jauh-jauh keluar jendela, lalu menghela nafas panjang dan berkata pada Mapatih Tepu
“Lantas apa saranmu kakang patih”
Mpu Tepu diam sesaat untuk mengatur kata – kata yang akan keluar dari mulutnya.
“Besok adalah hari baik menurut perhitungan para dharmadyaksa, hari datangnya awal bulan Caitra, dimana kita sebagai manusia titisan sang maha wicaksana, biasa melakukan persembahan bagi dewata agung, dengan melakukan sesaji Angken Bisuwakala, alangkah baiknya bila kita juga mengadakan doa puja - puji untuk keselamatan kerajaan Medang agar aman sentosa jauh dari segala bala, sri baginda”
Sri Dharmawangsa mengangguk-ngangguk tanda setuju dengan apa yang disampaikan patihnya. Kemudian berjalan menuju kursinya kembali dan bertanya pada Mapatih Tepu
“Lalu bagaimana menurutmu dengan masa depan Medang serta Dewi Galuh putriku kakang patih?, siapa menurutmu yang pantas menjadi menantuku, yang akan mampu meneruskan kejayaan Wangsa Isyana ini “
“Sekali lagi hamba Mohon maaf baginda”
“Sebenarnyalah sudah beberapa pekan hamba memang tengah berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah ini, siapa yang pantas kiranya untuk menjadi menantu baginda dan tentunya akan menjadi raja di kerajaan Medang nantinya, semua berpulang kembali pada sanghyang penguasa jagat raya ini” Mapatih Tepu berhenti untuk memberi kesan
“Setelah beberapa waktu hamba yang bodoh ini mencoba melakukan Mesupati, akhirnya segala daya upaya yang hamba lakukan itu ternyata didengar oleh sang maha agung”
“Sepekan yang lalu, hamba kedatangan seorang juru warta bernama Kanwa, dia masih keponakan istri hamba, Kanwa juga merupakan mata hamba untuk melihat segala hal di luar lingkungan istana Wwatan”
“Secara kebetulan dia baru saja pulang dari tanah dewata, karena dia memang suka berkelana, melihat-lihat suasana di negeri lain, untuk kemudian ditulisnya sebagai warta bagi kemajuan kerajaan Medang”
“ Lantas apa hubungan juru warta itu dengan putriku Dewi Galuh, kakang patih”
Mpu Tepu menyembah dalam, lalu berkata
“Mohon Ampun bila hamba berani lancang mengutarakan sebuah pemikiran yang mungkin dianggap ngoyo woro, namun semua berpulang kembali pada kebijakan Srimaharaja”
Sri Dharmawangsa menatap tajam pada patihnya
“Dari Kanwa lah hamba mendengar bahwa dharma udhayana warmadewa dan permaisurinya Mahendradatta dharmapriya gunapatni yang berkuasa di kerajaan Bedahulu di pulau bali telah pula dikarunia tiga orang putra, yang sulung bernama Airlangga yang berumur satu tahun lebih tua dari putri sekar kedaton Dewi Galuh, berbudi pekerti halus bak pendita dan cukat trengginas dalam olah kanuragan serta gemar mempelajari sutra, berguru pula pada tiga orang pendita sakti, pendita yang menjadi tonggak panata gama bagi kerajaan Bedahulu, kemudian putra yang tengah bernama Marakatta, sedang yang bungsu bernama Anak Wungsu” Mpu tepu berhenti mencari kesan dari wajah Sri Dharmawangsa
“Menurut hamba, sangatlah cocok jika sri baginda berbesanan dengan raja Dharma Udayana dari Bedahulu itu, mengingat bahwa permaisurinya, Mahendradatta adalah adik kandung baginda sendiri, sehingga tidaklah perlu kiranya kita kuatir, bahwa penerus kerajaan Medang bukan di pegang oleh keturunan Wangsa Isyana. “ tambahnya
Sementara itu, apa yang disampaikan oleh Mpu Tepu bagaikan air sejuk yang menyiram seluruh relung-relung hati Sri Dharmawangsa, wajahnya terlihat berbinar-binar, sebuah cahaya cerah tersirat, hingga tanpa sadar Sri Dharmawangsa beranjak dari kursi dan memeluk patihnya dengan penuh perasaan syukur.
“Duh sang dewa maha agung, terimakasih atas segala limpahan karunia yang kau berikan pada ku, pupus sudah rasanya segala beban yang menghimpit hatiku hari ini” gumamnya
“ Baiklah Kakang patih, aku setuju dengan apa yang kau katakan tadi, segerakanlah kakang kirim utusan ke bali agar menyampaikan keinginan kita pada adinda Dharma udayana dan Mahendradatta, aku ingin mendapat jawaban segera agar tenang hati ini” ucapnya pada Mpu tepu
“Dan jangan lupa, besok kakang harus menyiapkan pula sebaik-baiknya upacara sesaji Angken Bisuwakala, persembahan di bulan Caitra guna melantunkan doa puja puji bagi dewata agung.”
“Sendhika baginda Sri maharaja, akan hamba laksanakan sebaik – baiknya apa yang menjadi titah paduka, untuk itu, jika paduka Srimaharaja berkenan hamba ingin segera mohon diri untuk mempersiapkan segalanya” berkata mapatih Tepu dan segera bergegas meninggalkan ruang peraduan junjungannya ketika Srimaharaja Dharmawangsa mengangguk tanda merestuinya