Sabtu, September 12, 2009

SERI PANJISAKA- GEGER DI PUNCAK MERAPI (1)

1
Malam teramat kelam ketika sebuah pedati yang ditarik seekor sapi berjalan melalui jalan setapak di lereng merapi. Hujan baru saja reda, bau tanah basah masih tercium , menyengat hidung , bersama dingin yang mengigit setiap pori-pori. Suara jangkrik dan burung – burung malam menambah suasana malam jadi semakin mencekam. Jalan setapak yang becek dan licin membuat jalanan itu sangat lengang. Jarang orang mau keluar melalui jalan setapak itu dalam cuaca yang seperti ini, bahkan mungkin binatang – binatang hutan yang biasanya menunggu mangsa yang melewati jalan itupun seperti enggan untuk keluar.
Kusir pedati berkali-kali melecutkan cemeti nya seolah tak sabar melihat jalannya sapi yang sangat lamban, namun sapi itu seperti tak peduli dengan suasana hati tuannya. sementara didalam pedatinya seorang perempuan muda dengan anaknya tertidur lelap tanpa mempedulikan teriakan dan bunyi lecutan cemeti sang kusir. Dari raut wajah perempuan itu terlihat kecemasan dan kelelahan yang amat sangat, tiba-tiba perempuan itu terbangun.
“masih jauhkah perjalanan kita ki Damir? “ Sang kusir menoleh kebelakang sebelum menjawab pertanyaan perempuan itu.
“Sepenanak nasi , kalau tidak ada aral melintang kita sudah sampai den Ayu”
“Semoga ki….”
“Sudah hampir sepekan kita lalui perjalanan ini, bagaimana keadaan kakang panji yang aki dapatkan dari telik sandi , apakah beliau masih hidup? “
“ maaf den ayu, semua keterangan sepertinya buram, bagai mbang kertas kusam….
“ Sampai detik ini saya belum mendapat kejelasan…, sejak kademangan diserang orang-orang bintoro, saya belum bisa memperoleh keterangan.” Ki damir diam sejenak, lalu menarik nafas dalam dan berat.
“ Yang paling penting sekarang adalah membawa den ayu beserta ananda Panji saka sampai di padepokan Ki Ageng pameling jati, seperti pesan ndoro kakung ki Demang Panji sodra,..
Semua diam kembali,
Hening….
Hanya suara roda pedati yang semakin bising oleh jalan yang mulai menanjak dan berbatuan.
Di kejauhan mulai terlihat kerlip-kerlip lampu sebuah dusun…
Suara lolong anjing kampung seolah menyambut kedatang pedati itu, disusul bunyi kentongan yang dipukul bersahut-sahutan. Suara titir kentongan itu bersahutan seperti ada yang memberi komando, suara titir itu sepertinya bukan suara titir kentongan biasa tapi merupakan suara tanda bahaya, Ki Damir agak was-was, dia hapal betul dengan suara titir kentongan tanda bahaya itu, sama dimana saja suara titir kentongan tanda bahaya itu, di kademangan Ngambat juga begitu untuk memberi tanda bahaya. Tak sampai sepenggalan nafas, terlihat sebuah Gapura padukuhan berdiri kokoh di kanan-kiri jalan, terbuat dari batu hitam berbentuk persegi lima berukiran naga. Tiba-tiba dari kanan-kiri jalan didepan gapura padukuhan itu bermunculan sosok-sosok manusia menghadang jalannya pedati.
“ Berhenti….” Berteriak seorang lelaki yang berdiri paling depan, sepertinya dialah pemimpin kelompok orang-orang ini. Ki Damir menghentikan pedatinya, sambil tangan kirinya bersiap memegang gagang golok yang selalu terselip di pinggang kanannya. Dalam suasana Negara sedang kacau begini apapun bisa terjadi, bahkan yang sama sekali tidak diperhitungkan pun bisa terjadi, demikian pikiran Ki Damir.
“Maaf Ki sanak…, hendak kemanakah kisanak membawa pedati ini?... dan siapakah ki sanak ini? mengapa menempuh perjalanan pada tengah malam begini menuju padukuhan kami ? “
Lega Ki damir mendengar suara yang sopan namun tegas dari orang yang menegurnya. Ki Damir kemudian turun dari pedati sebelum menjawab pertanyaan orang itu.
“ Maaf Kisanak, kalo kami sudah membuat ketidak wajaran, namun sebenarnyalah kami memang tengah mengunjungi sahabat di ereng-ereng merapi ini, …”
“ Perjalanan sepekan sudah kami tempuh dengan pedati ini dari kademangan ngambat, hanya untuk kemari…, Saya ki damir seorang abdi kademangan ngambat”
“ siapakah orang yang akan kisanak kunjungi itu? Apakah Ki ageng Pameling Jati?...
“ benar …” hampir berseru ki damir menjawab perkataan orang itu..
“ maaf kisanak Damir , kalo itu tujuan kisanak lebih baik kisanak kembali saja, karena sudah hampir satu kali purnama Ki Ageng tidak berada di Padepokannya”
“kemana ki ageng itu..?.. tiba-tiba dari dalam pedati muncul seorang perempuan dengan menggendong anak yang kira-kira berumur 3 tahun di depan dadanya, sedang tertidur pulas. Pimpinan orang-orang itu mengernyitkan alisnya pertanda tidak suka mendengar nada bicara perempuan itu.
Buru-buru ki Damir yang mampu membaca suasana itu menengahi
“ maaf Ki sanak, beliau adalah junjungan saya Den Ayu Dyah Lastriti istri dari ki demang panji sodra dari ngambat beserta putranya Panji saka”
“ aku tidak peduli kamu satria atau pandhita sekalipun, kalo maksud kalian ingin bertemu Ki Ageng, lebih baik kalian pulang,” tegas perkataan orang yang menjadi pimpinan itu , yang disambut orang-orang disekitarnya dengan mengangkat senjata, ada yang membawa golok, pacul bahkan talu pemukul lesung padi. Ki Damir menyapukan pandangan matanya pada setiap orang yang mencegatnya satu persatu, sepertinya mereka bukanlah golongan prajurit atau orang – orang yang terbiasa dengan olah kanuragan tapi mereka seperti para penduduk biasa yang entah karena apa mereka semua siap siaga angkat senjata untuk perang, pikir Ki Damir.
Suasana menjadi tegang, seluruh nadi ditubuh ki Damir meregang siap untuk menempuh segala hal. Hingga terdengar suara kaki berjalan tergesa kearah mereka.
“ Damir…damir… dodol kamu mir… lemah ini masih omahmu yang dulu ..oalah dodol…dodol..” ucapan ini keluar dari seorang setengan baya, seusia ki damir, berpakaian surjan lurik kumal, dan iket klawu, pakaian orang desa. Orang itu menyeruak diantara kerumunan orang yang sudah siap untuk perang, semua orang menoleh lalu menjura bersama-sama. ” Ki Lurah,…”
“wealah… to… prajoto… kamu to itu…” seru ki Damir , kedua orang ini kemudian berpelukan. bagaikan sahabat yang sudah lama tidak bertemu, memanglah benar, bahwa orang yang disebut parjoto oleh ki damir, dan ki lurah orang orang-orang yang menghadang ki damir itu adalah sahabat kecil ki damir. Hampir 30 tahun mereka tidak bertemu, sejak ki damir meninggalkan dukuh Pakeman menuju Ngambat dan mengabdi pada demang disana.
“Kamu tambah gagah mir… beda dengan aku…. Tanah-tanah sawah disini sudah mulai berani mengerogoti tulang-tulangku…” sapa ki Lurah prajoto ramah, ki damir tersenyum.
“ maafkan aku prajoto, telah membuat keributan ini…kami hanya…”
“sudahlah….” Potong ki lurah,” lebih baik kamu ketempatku dulu untuk istirahat, kasihan si kecil ini, dia sudah kedinginan., mari…mari…” sambung ki lurah yang kemudian menghadap kepada orang-orang yang masih berkerumun dan terheran-heran melihat sikap lurahnya. Bukankah tadi siang ki Lurah sendiri yang meminta kepada mereka untuk memperketat penjagaan kampung dan tidak memperbolehkan siapapun masuk padukuhan itu bila malam hari.
“ dan ,kalian semua.. kembalilah ketempat kalian masing-masing berjaga, besok siang kalian semua boleh mendengar penjelasanku di pendopo padukuhan”

Tidak ada komentar: