Sabtu, September 12, 2009

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA(4.1)

4

Menjelang malam dengan dingin yang menggigit tulang,

Di sebuah Bulak yang cukup luas, di kitari oleh padang rumput ilalang yang terhampar hampir sejauh mata memandang, serta sebuah danau kecil yang airnya begitu jernih, rombongan prajurit Wurawari sibuk menyiapkan tenda-tenda yang terbuat dari kulit kijang yang dirangkai hingga berbentuk kain panjang sebagai atap tenda, terlihat seorang prajurit dengan pangkat lurah berteriak – teriak mengatur para prajurit bawahannya agar segera menyelesaikan dan menyiapkan segala keperluan tempat peristirahatan itu.

Sementara di pinggir danau Bulak Sirah, senopati Guyang dan patih Malengapati terlihat tengah berbincang – bincang dengan wajah yang sangat serius hingga tak peduli dengan kesibukan para prajuritnya. Sampai – sampai mereka tidak sadar ketika dengan tergopoh – gopoh lurah prajurit Luwar datang mendekat kearah mereka, lurah prajurit itu terpaksa harus mengeluarkan suara batuk-batuk kecil agar kedua atasannya tersadar akan kehadirannya.

“ ada apa Lurah Luwar” Tanya Senopati Guyang setelah sadar akan kehadiran lurah prajuritnya.

“ Maaf Senopati, tenda peristirahatan ki Patih dan Senopati sudah siap untuk ditempati” jawab Luwar

“ baiklah terimakasih, tolong segera siapkan pula hidangan makan malam buat kakang patih”

“ baik Senopati, akan segera saya suruh orang – orang untuk menyiapkannya” sahut luwar. Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.

“ kapan orang itu akan datang adi Guyang “ berkata Patih Malengapati setelah lurah Luwar pergi dari tempat itu.

“ Kira-kira sebelum tengah malam nanti kakang” sahut Senopati Guyang

” Kau benar-benar yakin bahwa orang itu benar-benar bisa dipercaya dan mampu melakukan tugas yang akan kita berikan bukan”

” Ya, tentu kakang patih, aku sudah mengenalnya sejak kecil, bahkan sebelum kami menjadi prajurit, kami berdua telah berada di perguruan yang sama selama bertahunm-tahun dalam mencari ilmu kadigdayan sehingga aku tahu betul bahwa dia adalah orang yang bisa kita percaya, oleh karena itu tak ada keraguan sedikitpun yang kurasakan padanya” jawab senopati Guyang menyakinkan patih Malengapati

“Baguslah kalau begitu, akupun mengenalnya sebentar ketika kalian berdua bersama-samamasih menjadi lurah prajurit di Lwaram sebelum kemudian dia diminta oleh orang-orang Medang untuk mengabdi disana” ujar patih Malengapati

”Nanti jika dia telah datang segera kau bawa dia menemuiku, sekarang aku ingin ke tendaku dulu” tambahnya lalu bergegas berjalan menuju tendanya meninggalkan tepian danau Bulak sirah.

Senopati Guyang pun bergegas pula menuju tenda yang diperuntukkan untuknya.

Sementara itu Prahasta dan teman-temannya sudah berada di sekitar bulak Sirah pula, bersembunyi diantara gundukan tanah dan rumput ilalang yang tumbuh begitu lebatnya. Arah pandangan mereka tidak pernah lepas sedikitpun dari kesibukan yang ada di tepian danau itu.

“ kita tunggu hingga tengah malam nanti” kata Prahasta pada gringsing dan sumprit alu setengah berbisik.

“ Kita gunakan kesempatan ini untuk mengamati apa yang mereka lakukan, sambil kalian gunakan waktu untuk memulihkan tenaga karena kita harus kerja cukup keras nanti malam, sementara aku akan mencoba menghubungi kakang Wira untuk membicarakan langkah selanjutnya”

Sumprit alu dan Gringsing mengangguk tanda mengerti apa yang di katakan Prahasta. Lalu Prahasta bergegas dengan mengendap-endap menuju sisi timur bulak di mana wira dan rekan – rekannya yang lain berada.

Bulan sabit telah berada pada jalur peredarannya, menunjukkan waktu hampir tengah malam, beberapa awan gelap bergelayutan diantara sayap-sayapnya seakan-akan berusaha menutupi sinar bulan sabit yang tengah malas mengeluarkan nyanyian malamnya.

Didalam tendanya, Senopati Guyang terlihat gelisah, beberapakali dia menarik nafas dalam. Hingga tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran seseorang dengan pakaian serba hitam serta menutupi seluruh wajahnya dengan selembar kain berwarna merah yang menerobos masuk ke dalam tendanya.

“Selamat malam kakang Guyang “ berkata orang itu, yang berperawakan tinggi dan kurusdengan

Gugup Senopati Guyang mengatasi keterkejutannya akan kehadiran orang itu yang tiba-tiba telah berada dihadapannya .

“ oh, kamu Adi… syukurlah kau menepati janjimu, kau ini benar-benar tak berubah, masih saja suka membuatku terkejut karena kehadiranmu yang selalu bagai hantu ditengah malam itu” ucap Senopati Guyang pada tamunya itu setelah mampu menguasai rasa terkejutnya sambil mengumbar senyum.

”Mari segera kita menghadap kakang patih” tambah Senopati Guyang yang segera mengajak tamunya menuju tenda Patih Malengapati.

Tanpa sepengetahuan mereka berdua, beberapa mata diantara pekatnya malam tengah mencermati segala gerak – gerik yang terjadi di tempat itu.

“ Sepertinya ada yang mencurigakan dari gerak – gerik kedua orang itu, aku akan coba mendekati tenda yang mereka tuju untuk mendengar pembicaraan mereka” berbisik Gringsing pada Sumprit alu.

Kemudian dengan tanpa menimbulkan suara Gringsing mendekati tenda yang paling megah diantara tenda lainnya dimana ke dua orang yang di curigainya menuju.

“ Selamat malam kakang patih, boleh kami masuk “ berkata Senopati Guyang setelah berada di depan pintu tenda patih Malengapati, dan tanpa menunggu jawaban dari dalam tenda, dia langsung menyingkap pintu tenda dan masuk kedalam di ikuti orang yang bersamanya.

“ apa kabar adi senopati, sepertinya kau kelihatan semakin makmur saja “ berkata Patih Malengapati ditujukan untuk orang yang bersama Senopati Guyang itu.

Tidak ada komentar: