Sabtu, Agustus 29, 2009

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA-(2.2)

Sejenak suasana hening, mereka berdua terhanyut dalam alam pikirannya masing-masing, sementara kuda-kuda yang mereka tunggangi berjalan amat perlahan menyusuri jalan tanah becek membawa tuannya yang tengah dirudung nestapa.
“Kita berhenti istirahat dulu di desa depan itu, rasanya perjalan pulang ini teramat melelahkan, bagaimana menurutmu Adi Guyang”
“Baik kakang patih aku juga sudah merasa penat seharian penuh berjalan tanpa henti, biar para prajurit dan kuda-kuda kita juga bisa beristirahat serta melemaskan otot – ototnya apalagi perjalanan masih sangat jauh “ jawab Senopati Guyang yang kemudian segera memerintahkan seorang prajurit untuk mendahului menuju desa yang akan menjadi tempat singgah rombongan mereka.
Tanpa menunggu perintah dua kali, prajurit itu bergegas mendahului rombongan menuju desa yang akan menjadi tempat peristirahatan itu, sesaat saja bayangannya telah terlihat mengecil didepan karena kudanya dipacu dengan sangat kencang.
Matahari mulai terlihat condong ke arah barat,
Candikala pun mulai menempati tepian cakrawala di bumi belahan barat, ketika rombongan patih Malengapati tiba disebuah desa kecil, yang hanya terdiri dari beberapa banguna rumah saja, namun yang amat menarik untuk dilihat di desa itu adalah keadaan yang ada di sana. Meski jarak desa itu cukup jauh dari kotaraja Wwatan, karena harus ditempuh dalam waktu satu hari penuh berkuda tanpa henti, suasana kehidupan yang aman dan tenteram serta penataan bangunan rumah-rumah dan jalan-jalannya sangat teratur indah dengan pagar tetehan yang lurus sejauh mata memandang serta dengan tinggi yang sama rata berjajar di pinggir jalan didepan rumah-rumah penduduk, suasana itu desa itu terasa sangat kental dengan ciri khas perkampungan yang berada di kotaraja Wwatan.
Tanpa terasa meremang bulu kuduk patih Malengapati menyaksikan keadaan desa itu, diam-diam dia harus mau mengakui kebesaran kerajaan Medang dibawah kekuasaan Sri Dharmawangsa yang mampu membuat pengaruh kekuasaannya begitu terasa hingga ke pelosok-pelosok negeri.
“Dengan cara bagaimana Wurawari mampu mengungguli kebesaran Medang” pikirnya
Hati manusia terkadang memang teramat kerdil dan picik, terbius akan keserakahan dan selalu melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri, yang teramat sempit. Begitu pula dengan Patih Malengapati, rasa marah, terhina oleh kata-kata Sri Dharmawangsa menjadikannya merasa muak dengan keadaan yang ada desa itu
Beberapa saat kemudian, mereka berhenti disalah satu rumah yang terbilang paling besar, meskipun bila dibandingkan dengan rumah - rumah yang ada di kotaraja Wwatan, mungkin rumah itu menjadi paling kecil. Seorang lelaki tua, berumur kurang lebih enampuluh tahun namun masih terlihat gagah, berdiri di depan regol rumah menyambut kedatangan rombongan orang Wurawari itu
“Selamat datang tuan-tuan sekalian, sebuah kehormatan kiranya tuan-tuan sudi singgah di desa kami yang kecil ini, mari…mari silahkan masuk” berkata dengan ramah laki-laki tua itu, yang telah mengetahui kedatangan rombongan Wurawari dari prajurit yang ditugaskan oleh Senopati Guyang untuk mendahului rombongan tadi
“ Terimakasih Kisanak, siapakah kisanak ini dan apa nama pedusunan ini? “
“Kami adalah rombongan dari kerajaan Wurawari yang sedang menempuh perjalan pulang dari kotaraja. Saya Senopati Guyang dan beliau adalah Patih Malengapati“ yang menjawab adalah senopati Guyang sambil menoleh kearah patih Malengapati karena melihat sang patih hanya diam membeku diatas kudanya.
“Saya adalah buyut di desa ini, nama padusunan ini adalah desa wiyat dan orang-orang memanggil saya ki buyut Kromo wiyat.” Jawab ki buyut ramah
“Mohon maaf, bila kami tidak bisa menyambut tuan-tuan sebagaimana mestinya, mari silahkan masuk ke gubuk kami” lanjutnya agak tak enak hati melihat keadaan patih Malengapati yang diam saja, kemudian ki Buyut Kromo Wiyat mendahului para tamunya masuk diikuti oleh patih Malengapati dan Senopati Guyang.
Sementara itu para prajurit dibawah komando Lurah prajurit Luwar yang merupakan tangan kanan Senopati Guyang, sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang menggelandang kuda-kuda rombongan agar mendapatkan tempat cukup luas untuk merumput, ada pula yang tetap berjaga – jaga di dekat pedati – pedati yang berisi upeti yang amat berharga, yang ditolak oleh Sri Dharmawangsa
Di tempat lain, kesibukan pun terjadi di bagian belakang rumah, istri, beserta anak perempuan ki Buyut Kromo Wiyat dan juga para magersari yang dibantu oleh para tetangga yang dengan suka rela bersedia datang ke rumah Ki Buyut tanpa diminta, sibuk ikut menyiapkan makanan untuk para tamu, bagi mereka warga dusun wiyat adalah sebuah anugerah tersendiri, bila desa mereka di datangi rombongan dari istana meskipun rombongan itu hanyalah rombongan dari kerajaan bawahan kerajaan Medang
Suara canda tawa terdengar ditengah-tengah kesibukan di belakang rumah membuat para prajurit yang kelelahan oleh perjalanan pulang itu serasa telah berada ditengah-tengah keluarganya sendiri, mereka sangat gembira, sambil duduk – duduk berkelompok di lantai pendopo, ada yang melepas lelah dengan berusaha tidur-tiduran,ada pula yang menghibur teman-temannya dengan menembangkan lagu meski suaranya tak enak ubtuk didengar.
Lain pula yang rasakan oleh patih Malengapati, suara canda tawa itu terasa seperti mengejek kegagalannya meminang putri Sri Dharmawangsa. Namun semua itu disimpanya dalam hati, malah tanpa berkata sepatah katapun pada tuan rumah yang masih terlihat sibuk mengatur pendopo agar bisa digunakan untuk beristirahat oleh para tamunya, dia berjalan menuju bilik kamar yang di peruntukkan untuknya dan tidak keluar-keluar lagi.
Ki Buyut kromo Wiyat sebenarnya mengetahui sikap yang tidak menyenangkan dari tamunya itu, namun dia berusaha tetap ramah dan menjadi tuan rumah yang baik. Hal itupun tak luput dari perhatian Senopati Guyang, sehingga dia berusaha untuk mencairkan suasana dengan ngobrol kesana kemari dengan tuan rumah.

Tidak ada komentar: