Sabtu, Agustus 29, 2009

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA-(2.1)

2
Patih Malengapati adalah utusan dari kerajaan Wurawari itu, utusan yang mewakili rajanya melakukan pinangan pada Sri Dharmawangsa, didampingi senopati Guyang terpaksa harus pulang dengan tangan hampa, dan yang lebih menyakitkan lagi baginya adalah bukan hanya pinangannya yang ditolak mentah – mentah namun lebih daripada itu seluruh upeti yang tadinya akan dipersembahkan pada Raja Dharmawangsa sebagai tanda taliasih pinangan, terpaksa harus pula diusung kembali ke Lwaram.
Rasa marah, terhina dan segala macam rasa tidak menyenangkan menyelimuti perjalanan pulang rombongan itu ke Lwaram
“Sampaikan pada Rajamu Aji Wurawari, bahwa aku tidak ingin mengambilnya sebagai menantu, dan bawa pulang semua upeti yang kalian bawa itu kembali ke Lwaram, berikan saja pada rakyatmu disana agar mereka tambah sejahtera” kata Sri Dharmawangsa pada saat pasowanan di bale pendapa, bangsal dalam di istana Wwatan.
Menyakitkan sekali,
Sedih berbaur dengan amarah dirasakan Patih Malengapati, dan kata - kata Sri Dharmawangsa itu selalu terngiang dalam benaknya, tertanam tandas hingga ketulang sumsum, menghujam dalam kedalam relung-relung hatinya, yang menggelora menjadi bara api dendam tak terkira
Patih Malengapati begitu terpukul oleh peristiwa itu, dia merasa bersalah pada junjungannya Raja Aji Wurawari, dia yang mengusulkan pada rajanya untuk melamar Putri Dewi Galuh anak Srimaharaja Dharmawangsa, dia berangan - angan seandainya rajanya Aji Wurawari bisa menikah dengan putri Dewi Galuh sekar kedaton kerajaan Medang, putri satu – satunya Srimaharaja Dharmawangsa, tentulah kerajaan Medang akan berada dibawah kekuasaan Wurawari, dan tentu dialah yang akan menjadi orang nomer dua di kerajaan itu, menjadi mapatih di kerajaan yang sangat besar, orang yang punya kuasa sangat luas dalam menentukan jalannya sebuah kerajaan, tidak seperti sekarang ini meski dia berpangkat patih namun dia hanyalah seorang patih di sebuah kerajaan bawahan, kerajaan yang tak bisa leluasa menjalankan roda pemerintahannya karena harus selalu patuh pada kerajaan yang menguasainya.
“Apa kekurangan raja ku, hingga Sri Dharmawangsa menolak pinangannya, Kerajaan Wurawari adalah kerajaan yang selalu setia pada Medang, dan kerajaan bawahan yang selalu paling banyak memberi upeti pada setiap Pasowanan Ageng dibangdingkan dengan kerajaan bawahan lainnya” berkata dalam hati Patih Malengapati sambil menarik nafas dalam - dalam
Sementara Senopati Guyang yang berkuda disampingnya, diam – diam merasa prihatin dengan keadaan sang patih, dia ikut pula merasakan beban yang tengah menghimpit di dada sang patih dari Wurawari itu
“Maaf kakang patih, aku ingin bicara “ Senopati Guyang mencoba membuka pembicaraan dengan patih Malengapati
Patih Malengapati menoleh kearahnya lalu mengangguk pelan.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang”
“Bagaimana kakang patih akan menyampaikan peristiwa ini pada sri baginda Aji Wurawari?”
Patih Malengapati terdiam, rasa sesak di dadanya sekarang inipun karena memikirkan itu, memikirkan jawaban apa yang harus disampaikannya pada rajanya, terbayang kemurkaan junjungannya Sri baginda Aji Wurawari bila mengetahui kejadian ini. Itu pasti terjadi, dan dia adalah orang satu – satunya yang akan menerima murka itu.
“ Aku tidak tahu apa yang akan aku katakan pada sri baginda nanti, kemarahannya telah terbayang dipelupuk mataku ini bila nanti aku ceritakan apa yang terjadi pada kita “ jawab patih Malengapati sesaat setelah menarik nafas dalam-dalam
“ Apakah tidak sebaiknya Kakang Patih sampaikan saja apa adanya, tentang apa yang dikatakan Sri maharaja Dharmawangsa di pasowanan itu karena menurutku sudah tak ada lagi yang bisa kita lakukan selain mengatakan apa ada “ jawab Senopati Guyang
“Yah… mungkin itu lebih baik, meskipun karena itu kita harus mendapat murka baginda Aji Wurawari “ jawab patih Malengapati

Tidak ada komentar: