Jumat, Agustus 21, 2009

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA-PENDAHULUAN

AIRLANGGA
MAHAPRALAYA MEDANG
KARYA : EDHI VIR


MAHAPRALAYA MEDANG
Sejarah adalah sebuah rentang dimensi masa lalu yang menjadi pondasi kehidupan masa yang akan datang, sebuah alur cerita peradaban manusia yang penuh dengan segala karya-karya besar para pujangga, yang penuh dengan segala intrik – intrik peperangan dan perpecahan sebuah bangsa oleh tipu daya manusia, dan juga penuh dengan legenda kebudayaan dengan segala kejayaan beserta kebesarannya.
Adalah Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya yang mendirikan kerajaan Medang atau kerajaan mataram kuno atau di sebut pula dengan kerajaan mataram hindu pada sekitar abab ke-8 ( delapan ) ber ibukota di Medang I bhumi Mataram yang sekarang lebih dikenal dengan nama Yogyakarta dan sekitarnya, menjadi salah satu bukti torehan sejarah yang tercatat begitu dalam sebagai salah satu tonggak awal kehidupan kerjaan-kerajaan di nusantara selanjutnya.
Pada saat mendirikan kerajaan Medang, suasana negara dan tatanan masyarakat pada waktu itu teramat sangat kacau, setelah terjadi pemberontakan di kerajaan galuh oleh Purbasora yang merasa lebih berhak atas tahta kerajaan Galuh, Sanna raja Galuh pada saat itu akhirnya mengungsi ke kerajaan Kalingga yang merupakan kerajaan nenek istrinya yaitu Maharani Shima. Sanjaya yang merupakan keponakan dari sanna raja galuh, tampil dan bertekad ingin merebut kembali kerajaan pamannya Sanna, dengan bantuan Tarusbawa raja Sunda pada waktu itu, namun sebelumnya Sanjaya telah menyiapkan pasukan khusus di pegunungan Sawal atas bantuan Rabuyut Sawal dan akhirnya dengan melakukan serangan mendadak pada tengah malam, Sanjaya berhasil merebut kembali kerajaan galuh dan membasmi habis keluarga Purbasora.
Atas dukungan ibunya yaitu Sannaha saudara perempuan raja Sanna, Sanjaya kembali ke Kalingga menjadi raja disana dan mengganti nama kerajaan menjadi Kerajaan Medang yang beribukota di Mataram ( Medang I bhumi Mataram ) dan sejak itu berdirilah kerajaan Medang di pulau jawa dibawah kepemimpinan Dinasti Sanjaya atau Wangsa Sanjaya ( prasasti Canggal tahun 732 )
Bersama bergulirnya sang waktu, sejarah mencatat terjadinya pergantian tampuk kekuasaan kerajaan – kerajaan ditanah jawa, dari wangsa Sanjaya ke wangsa Sailendra hingga ke wangsa Isyana yang didirikan oleh Mpu Sindok.
Berawal karena letusan gunung merapi yang sangat dahsyat hingga menghancurkan seluruh istana kerajaan medang, yang pada saat itu dyah Wawa adalah Raja yang berkuasa di Kerajaan Medang sementara Mpu Sindok menjabat Rakryan Mapatih Hino.
Konon sebagian puncak Merapi hancur, Kemudian lapisan tanah begeser ke arah barat daya sehingga terjadi lipatan, yang antara lain, membentuk Gunung Gendol dan lempengan Pegunungan Menoreh. Seluruh istana Medang di bumi mataram dan seluruh isinya musnah tak berbekas. Mpu Sindok yang pada saat itu baru saja memenangkan peperangan dengan bala tentara Kerajaan Sriwijaya (Perang Gejag) kemudian memindahkan ibukota kerajaan Medang ke daerah Tawlang di timur pulau jawa, kemudian dipindah lagi ke Watugaluh.
Jadilah Mpu Sindok sebagai raja pertama Kerajaan Medang periode Jawa Timur yang memerintah sekitar tahun 929 – 947, bergelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana Wikramadharmottunggadewa. Mpu Sindok dianggap sebagai pendiri dinasti baru bernama Wangsa Isyana, tercatat dalam sejarah bahwa permusuhan kerajaan Medang dengan Sriwijaya tetap berlangsung hingga kecucu dan cicitnya, sejarah mencatat pula kemenangannya dalam mengalahkan serbuan bala tentara kerajaan sriwijaya di daerah Anjuk Ladang yang dikenal dengan perang Gejag atau perang besar.
Setelah Meninggalnya Mpu Sindok, berturut – turut terjadi peralihan kekuasaan pada keturunan Wangsa Isyana, dari Sri lokapala, kemudian Makuthawangsawardhana, hingga raja terakhir kerajaan Medang Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa yang naik tahta menggantikan ayahandanya Makuthawangsawardhana pada tahun 991, Kerajaan Medang di bawah kepemimpinan Dharmawangsa teguh ini sangatlah makmur, gemah ripah loh jinawi dan berhasil pula menguasai sebagian Kerajaan Sriwijaya (tahun 992 dan 997), Kejayaan masa kepemimpinan Darmawangsa teguh ini tentulah banyak menyimpan dendam yang berlarut – larut dari mereka yang merasa tertindas, hingga ber awal lah sebuah cerita kepedihan dan jeritan kematian yang di kenal dengan sebutan Mahapralaya atau Kematian Besar dalam sejarah negeri ini

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA-(1)

1


Dingin udara pagi itu seolah menusuk - nusuk kulit hingga serasa menembus tulang sampai menyusup kedalam sumsum, ayam jago pun sepertinya enggan untuk bernyanyi membangunkan mentari yang tak juga terbangun dari lelap tidurnya. Tanah – tanah dan rerumputan basah oleh hujan deras tadi malam, hujan terakhir memasuki musim kemarau atau Mangsa saddha yang beranjak dari bulan Phalguno menuju bulan Caitra. Begitu pula padi - padi di sawah yang menghijau dan siap untuk dipanen, semua rebah tak beraturan terlindas hujan yang tercurah dari langit, bagaikan derasnya aliran air yang turun terhempas dari puncak grojogan sewu tempat para dedemit bercengkrama sembari menguras air didalamnya, membuat anak-anak kecil semakin meringkuk dan menyusup dalam pelukan sang bunda. Habis sudah harapan para petani untuk berpesta panen di bulan depan. Hampir bisa dipastikan mereka takan pernah merasakan hasil jerih payah menanam padi berbulan-bulan yang lalu.

Mereka yang masih punya iman dan percaya akan kuasa yang maha agung akan menganggap bencana ini sebagai peringatan tentang segala kesalahan – kesalahan yang telah di lakukan nya di waktu - waktu yang lalu, sementara bagi mereka yang lemah imannya merasa bahwa bencana ini adalah sebuah musibah yang tidak mampu mereka cerna secara nalar.
Manusia memang manjadi sarang hawa nafsu yang baik dan buruk, bila manusia itu sadar akan makna keberadaannya di muka bumi, maka peristiwa seperti ini tentulah menjadi pembelajaran terhadap segala hal yang di jumpainya sebagai kodrat seorang hamba, kodrat seorang manusia di dalam rengkuhan sang penciptanya, yang hanya mampu memohon dengan segala upaya agar keberadaannya menjadi bermanfaat bagi jagat raya ini, berbeda dengan manusia yang tidak sadar akan kodratnya, peristiwa musibah yang menimpa mereka akan menjadikan semakin jauh dari sang kuasa, menjadikan mereka picik, yang akhirnya akan melakukan pengerusakan dimuka bumi agar dapat mengejawantahkan hawa nafsu buruknya dengan perbuatan - perbuatan tercela serta nista.

Istana Medang yang berada di kotaraja Wwatan tak luput pula dari serangan hawa Dingin yang menusuk - nusuk tulang itu, menyusupi semua sekat - sekat ruang yang ada di istana, tak peduli apakah dia hanya seorang pekatik penjaga istal kuda, emban ataupun prajurit bahkan sri maharaja Dharmawangsa teguh, Sri Maharaja Isana Dharmawangsa Teguh Anantawikramottunggadewa, yang sudah sedari tadi malam hanya terpaku duduk diam dibalai peraduannya, tak mampu memejamkan mata untuk tertidur, tak luput pula dari sergapan hawa dingin yang menusuk-nusuk tulang itu, hawa dingin yang menyusupi seluruh tulang-tulang terasa semakin menambah beban berat yang tengah di tanggungnya.

Sudah hampir lima belas tahun Srimaharaja Dharmawangsa mengemban amanat Ayahandanya, Srimaharaja Makutawangsawardhana, namun baru kali ini dia merasakan begitu berat dan pelik masalah yang harus dihadapinya, penuh dan sarat menindih alam pikirannya.

Begitu banyak sudah peperang telah dijalani hingga mampu mengalahkan musuh – musuh kerajaannya, termasuk musuh bebuyutannya, kerajaan Sriwijaya, begitu melimpah kendala-kendala dalam mengarungi tonggak kekuasaannya, begitu kukuh pula dia mempertahankan kemakmuran bagi rakyatnya, namun peperangan demi peperangan, kendala demi kendala yang dihadapinya terasa tak seberat beban yang tengah di tanggungnya sekarang ini.

Sebagai seorang raja, Srimaharaja Dharmawangsa merasa beban masa depan kerajaan yang sekarang ada dalam kekuasaannya, masa depan tahta kerajaan Medang setelah dia lengser dari tampuk kepemimpinan nanti, haruslah segera terpecahkan, Dharmawangsa sadar bahwa dia hanya memiliki seorang Putri, sekar kedaton Dewi Galuh, tak mungkin bila dia membiarkan putri satu – satunya yang amat dia sayangi itu, harus sendirian mengemban tugas berat dalam mengarungi tampuk kekuasaan kerajaan Medang. Oleh karena itu harus dicarikannya seorang pendamping yang punya bobot-bibit-bebet yang baik serta mampu mendampingi putrinya duduk sebagai penguasa di Kerajaan Medang dan juga harus memiliki darah raja-raja besar, seperti darah yang mengalir dalam tubuhnya, yang mengisi setiap nafas dan pori-porinya, darah yang agung, darah Wangsa Isyana yang perkasa.

Banyak sudah para raja - raja bawahan yang ingin menjadikan putrinya sebagai menantu atau istri, namun semua tidak ada yang diterima dan menyangkut di hati Srimaharaja Dharmawangsa, hingga yang terakhir, datanglah utusan Raja Wurawari dari Lwaram (daerah disekitar Cepu,Blora) dengan membawa segala upeti sebagai tanda taliasih pinangan berupa pundi – pundi emas dan perak, kain-kain sutera serta mutu manikam yang tak terhitung banyaknya,untuk meminang sang buah hatinya sekar kedaton Dewi Galuh, namun tetap saja hati Darmawangsa bergeming, tidak ingin merestuinya, karena dia sangat mengenal tabiat raja Wurawuri yang sekarang berkuasa di Lwaram itu, disamping Raja Wurawari bukan garis keturunan wangsa isyana juga menurut kabar terpercaya yang di bawa oleh telik sandi Medang bahwa Raja Wurawari secara diam – diam sering berhubungan dan melakukan perdagangan dengan kerajaan musuh bebuyutannya, Kerajaan Sriwijaya, itulah dasar ditampiknya pinangan dari Wurawari.

Namun sepulangnya utusan Wurawari, Sri Dharmawangsa teguh merasa akan terjadi sesuatu yang besar menimpa Medang, sehari sebelum utusan dari Lwaram itu datang, dia bermimpi dampar kencana yang tengah didudukinya terbakar dan hangus dimakan api, mimpi yang begitu nyata, hingga mampu menguasai bhatin sang penguasa Medang itu.

“ Apa yang akan terjadi dengan Medang, mengapa mimpi itu begitu terasa nyata” pikir Sri Dharmawangsa.
Sri Dharmawangsa terus mengepalkan tangannya, berdiri menatap lurus lekat – lekat keluar jendela seolah mencari - cari jawaban dari kabut pagi yang menyelimuti taman di depan biliknya.
“Prajurit, segera kau panggil Mapatih Tepu kemari, suruh dia menghadap padaku sekarang juga” teriak Sri Dharmawangsa
Prajurit jaga yang selalu setia menjaga di depan pintu kamar peraduan rajanya, segera bergegas melaksanakan perintah junjungannya begitu mendengar suara teriakan dari dalam kamar peraduan Sri Maharaja.
“Sendiko Sri Maharaja” Jawab prajurit itu
Lalu bergegas beranjak menuju istana kepatihan yang berada di sebelah barat istana utama
Tak membutuhkan waktu terlalu lama untuk menunggu kedatangan Mapatih Tepu, yang selalu setia mendampingingi rajanya dalam suka dan duka.
Mapatih Tepu atau Rakyan Mapatih hino Mpu tepu adalah salah satu kerabat dekat Sri Dharmawangsa, karena Mpu Tepu masih cucu lain ibu, dari kakeknya Sri Isyana Tunggawijaya.
Mpu Tepu atau Mapatih Tepu masuk kamar peraduan Srimaharaja dengan perasaan penuh tanda Tanya, lalu menyembah penuh hormat pada sri Dharmawangsa
“ Kemarilah kakang Patih, duduklah di sebelahku”
Dengan dipenuhi segala sakwasangka Mpu Tepu yang sudah cukup umur itu beringsut perlahan di sisi Sri Dharmawangasa
“Sendhika sinuwun”
“ Hujan begitu lebat tadi malam, sepertinya ada badai yang telah melanda beberapa kawasan kerajaan, Kakang Patih” Sri Dharmawangsa memulai membuka pembicaraan
Mapatih Tepu tahu bahwa ungkapan itu tidak perlu dijawab, maka Mapatih Tepu hanya mengangguk pelan
“ Kakang Tepu, kakang pasti bingung kenapa aku memanggilmu di pagi buta seperti ini”
“Sebenarnya sudah beberapa hari ini aku dilanda gundah, serasa selaksa beban tengah menindihku, terasa penat yang terlalu sarat menghujam di kisi – kisi hatiku ” Sri Dharmawangsa mengakhiri ucapannya dengan menghela nafas panjang
Sementara Mapatih Tepu hanya diam menyimak kata-kata yang keluar dari mulut Sri Dharmawangsa, seolah-olah takut kalau kehilangan satu kata saja dari ucapan junjungannya
“Seperti kakang Patih ketahui, Kemarin telah datang lagi utusan dari sebuah kerajaan bawahan Medang, dari Lwaram untuk melamar putriku Dewi Galuh, Sebagai seorang Patih tentu kakang tahu, mengapa aku tidak menerima lamaran Raja Wurawari itu. Terutama karena dia bukanlah keturunan Wangsa Isyana, tidak ada setetespun darah isyana yang mengeram ditubuhnya.”
“Bagaimana aku harus bertanggung jawab pada mendiang Ramanda Sri Makuttawangsawardhana, bila kekuasaan kerajaan Medang harus jatuh pada orang yang bukan keturunan Wangsa Isyana” Sri Dharmawangsa diam sejenak seolah ingin menumpahkan seluruh beban yang ada pada patihnya
“Ditambah lagi, kita semua tahu siapa itu Aji Wurawari, dia hanyalah seorang raja yang suka phetentang - phetenteng, seorang raja yang licik, culas dan bermuka dua”
Mpu Tepu hanya diam tak bergerak mendengar segala yang di ucapkan oleh Sri Dharmawangsa. Sementara angin pun seperti tak berani berhembus karena takut mengganggu curahan hati seorang raja yang tengah dilanda kegalauan.
“Ada satu hal lagi yang begitu sesak membebani hatiku, sebelum utusan wurawari itu datang, malamnya aku bermimpi, dampar kencana yang tengah aku duduki terbakar, habis tak tersisa…”
”Sebagian orang yang melihat menangis, berteriak-teriak, namun tak melakukan apa-apa, sedang sebagian lagi tertawa, menyeringai penuh dendam seakan mentertawakanku yang berlarian terbirit-birit menyelamatkan diri dari panasnya api”
Rakyan Mapatih I hino Mpu Tepu tersentak dari duduknya mendengar kata - kata itu
“Apakah ini pertanda bahwa Medang akan runtuh seperti yang dikatakan oleh Bapa Guru Resi Wisa Satya padaku tempo hari “ Mpu Tepu berkata dalam hatinya
Masih begitu membekas di hati Mpu Tepu apa yang di ungkapkan Resi Wisasatya yang beberapa hari lalu sengaja menemuinya, seorang resi yang maha sakti yang juga merupakan bapa gurunya dalam olah kadigdayan dan agama, mewartakan sesuatu yang sangat tidak masuk diakalnya.
“Anakku Tepu yang bijaksana” demikian Bapa Guru Resi Wisasatya memulai pembicaraan dengannya beberapa hari yang lalu
“Mohon maaf bila apa yang akan aku sampaikan ini, akan membuat beban yang kau emban dalam menjaga amanah rakyat medang ini menjadi bertambah berat, namun aku yang sudah tua inipun tak kuasa untuk menyimpannya darimu, amatlah berat bila aku yang tua ini harus menyimpan terus wangsit yang kuterima itu”
“Disaat aku mesupati di kaki Pegunungan Wilis tempohari, aku mendapati suatu pertanda yang sangat tidak baik bagi keutuhan kerajaan Medang” Resi Wisasatya berhenti menarik nafas sejenak,
Sementara Mpu Tepu terdiam mendengar setiap patah demi patah kata yang terucap dari bibir bapa gurunya itu
“ Pada dasarnya manusia di alampada ini hanyalah jalma wadag yang menjalankan titisan luhur sang wicaksana, sehingga bila telah tiba titimangsanya, semua hanya bisa pasrah manjalani kodrat serta takdir yang telah digariskannya”
“Demikian pula dengan kerajaan Medang yang jaya dan gemah ripah loh jinawi ini, tak luput pula dari takdir yang digariskan untuknya, akan Sirna lela oleh prahara yang maha dhasyat meluluh lantakkan semua yang ada di tanah Medang i bhumi Wwatan ini ”
Terhentak bagai tersambar petir Mapatih Tepu mendengar ucapan bapa gurunya Resi Wisasatya itu, bagaimana mungkin disaat keadaan Kerajaan Medang sedang dalam masa kegemilangannya ini bisa dilanda prahara, dimana-mana rakyat bersuka cita karena negara aman sentosa, sandang pangan berlimpah ruah, lumbung-lumbung selalu penuh berjejal padi dan hasil ladang lainnya, pikir Mpu Tepu. Namun Mpu Tepu tidak berkata apa - apa mendengar semua yang dikatakan bapa gurunya yang sudah terlihat bertambah tua itu
” Kau adalah orang yang ikut menjalankan tata pemerintahan kerajaan Medang ini , mulai sekarang haruslah lebih berhati-hati, kau harus lebih cermat dan bijaksana dalam menjalankan semua yang menjadi tanggung jawabmu anakku” tambah Resi Wisasatya
Mpu Tepu, Mahapatih Kerajaan Medang, orang kedua yang berkuasa dan ikut menjalankan tata pemerintahan setelah Srimaharaja Dharmawangsa, hanya mengangguk tanda mengerti, akan apa yang telah di sampaikan oleh Resi Wisasatya itu namun tetap tak mampu menangkap makna dari perkataan bapa gurunya. Hingga Resi tua itu berpamitan untuk kembali ke lereng gunung Wilis dimana padepokannya berada, Mapatih Tepu masih tetap terdiam membeku menghantar kepergian Resi sakti itu dengan tatapan mata yang kosong
Namun di tengah pagi buta ini, dia mendengar sendiri, tentang apa yang telah di utarakan oleh Resi Wisasatya itu, dirasakan pula oleh rajanya, sri Dharmawangsa teguh anantawikramatunggadewa.
“Bagaimana menurutmu kakang patih” kata Dharmawangsa ketika melihat patihnya diam dalam lamunanya
Mpu tepu terbangun dari lamunannya mendengar pertanyaan baginda Sri Dharmawangsa sampai dia tersedak udara pepat yang tiba - tiba memenuhi rongga dadanya.
Sejenak setelah menarik nafas panjang hingga terasa seluruh rongga - rongga dadanya terpenuhi oleh udara, dia berkata pada junjungannya
“Mohon Maaf Sri Maharaja yang adil lagi bijaksana junjungan para kawula kerajaan Medang. Kesayangan para dewata agung”
“Menurut hamba yang bodoh ini, mimpi yang srimaharaja alami itu tak lain hanyalah sebuah rangkaian bunga di kala tidur, karena semua orang juga bisa bermimpi yang bukan-bukan, mohon Sri baginda jangan terlalu memikirkannya”
“Lebih baik kita berdoa dan berpasrah diri pada yang kuasa, agar apa yang menjadi mimpi baginda hingga menimbulkan resah dihati, tidak pernah menjadi nyata”
“Dan yang perlu kita pikirkan sekarang adalah masa depan kerajaan Medang, yang tentu erat hubungannya dengan Ananda putri Srimaharaja, Sekar Kedaton Dewi Galuh, putri yang menjadi cahaya terang dan tumpuan kasih sayang seluruh rakyat Medang” ucap Mapatih Tepu yang berusaha menenangkan hati junjungannya, meskipun perasaannya sendiri terasa penuh pepat oleh rasa was - was.
Sri Dharmawangsa beranjak dari kursinya, berjalan menuju jendela kamarnya, seolah ingin membuang semua kepenatan hatinya jauh-jauh keluar jendela, lalu menghela nafas panjang dan berkata pada Mapatih Tepu
“Lantas apa saranmu kakang patih”
Mpu Tepu diam sesaat untuk mengatur kata – kata yang akan keluar dari mulutnya.
“Besok adalah hari baik menurut perhitungan para dharmadyaksa, hari datangnya awal bulan Caitra, dimana kita sebagai manusia titisan sang maha wicaksana, biasa melakukan persembahan bagi dewata agung, dengan melakukan sesaji Angken Bisuwakala, alangkah baiknya bila kita juga mengadakan doa puja - puji untuk keselamatan kerajaan Medang agar aman sentosa jauh dari segala bala, sri baginda”
Sri Dharmawangsa mengangguk-ngangguk tanda setuju dengan apa yang disampaikan patihnya. Kemudian berjalan menuju kursinya kembali dan bertanya pada Mapatih Tepu
“Lalu bagaimana menurutmu dengan masa depan Medang serta Dewi Galuh putriku kakang patih?, siapa menurutmu yang pantas menjadi menantuku, yang akan mampu meneruskan kejayaan Wangsa Isyana ini “
“Sekali lagi hamba Mohon maaf baginda”
“Sebenarnyalah sudah beberapa pekan hamba memang tengah berusaha mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah ini, siapa yang pantas kiranya untuk menjadi menantu baginda dan tentunya akan menjadi raja di kerajaan Medang nantinya, semua berpulang kembali pada sanghyang penguasa jagat raya ini” Mapatih Tepu berhenti untuk memberi kesan
“Setelah beberapa waktu hamba yang bodoh ini mencoba melakukan Mesupati, akhirnya segala daya upaya yang hamba lakukan itu ternyata didengar oleh sang maha agung”
“Sepekan yang lalu, hamba kedatangan seorang juru warta bernama Kanwa, dia masih keponakan istri hamba, Kanwa juga merupakan mata hamba untuk melihat segala hal di luar lingkungan istana Wwatan”
“Secara kebetulan dia baru saja pulang dari tanah dewata, karena dia memang suka berkelana, melihat-lihat suasana di negeri lain, untuk kemudian ditulisnya sebagai warta bagi kemajuan kerajaan Medang”
“ Lantas apa hubungan juru warta itu dengan putriku Dewi Galuh, kakang patih”
Mpu Tepu menyembah dalam, lalu berkata
“Mohon Ampun bila hamba berani lancang mengutarakan sebuah pemikiran yang mungkin dianggap ngoyo woro, namun semua berpulang kembali pada kebijakan Srimaharaja”
Sri Dharmawangsa menatap tajam pada patihnya
“Dari Kanwa lah hamba mendengar bahwa dharma udhayana warmadewa dan permaisurinya Mahendradatta dharmapriya gunapatni yang berkuasa di kerajaan Bedahulu di pulau bali telah pula dikarunia tiga orang putra, yang sulung bernama Airlangga yang berumur satu tahun lebih tua dari putri sekar kedaton Dewi Galuh, berbudi pekerti halus bak pendita dan cukat trengginas dalam olah kanuragan serta gemar mempelajari sutra, berguru pula pada tiga orang pendita sakti, pendita yang menjadi tonggak panata gama bagi kerajaan Bedahulu, kemudian putra yang tengah bernama Marakatta, sedang yang bungsu bernama Anak Wungsu” Mpu tepu berhenti mencari kesan dari wajah Sri Dharmawangsa
“Menurut hamba, sangatlah cocok jika sri baginda berbesanan dengan raja Dharma Udayana dari Bedahulu itu, mengingat bahwa permaisurinya, Mahendradatta adalah adik kandung baginda sendiri, sehingga tidaklah perlu kiranya kita kuatir, bahwa penerus kerajaan Medang bukan di pegang oleh keturunan Wangsa Isyana. “ tambahnya
Sementara itu, apa yang disampaikan oleh Mpu Tepu bagaikan air sejuk yang menyiram seluruh relung-relung hati Sri Dharmawangsa, wajahnya terlihat berbinar-binar, sebuah cahaya cerah tersirat, hingga tanpa sadar Sri Dharmawangsa beranjak dari kursi dan memeluk patihnya dengan penuh perasaan syukur.
“Duh sang dewa maha agung, terimakasih atas segala limpahan karunia yang kau berikan pada ku, pupus sudah rasanya segala beban yang menghimpit hatiku hari ini” gumamnya
“ Baiklah Kakang patih, aku setuju dengan apa yang kau katakan tadi, segerakanlah kakang kirim utusan ke bali agar menyampaikan keinginan kita pada adinda Dharma udayana dan Mahendradatta, aku ingin mendapat jawaban segera agar tenang hati ini” ucapnya pada Mpu tepu
“Dan jangan lupa, besok kakang harus menyiapkan pula sebaik-baiknya upacara sesaji Angken Bisuwakala, persembahan di bulan Caitra guna melantunkan doa puja puji bagi dewata agung.”
“Sendhika baginda Sri maharaja, akan hamba laksanakan sebaik – baiknya apa yang menjadi titah paduka, untuk itu, jika paduka Srimaharaja berkenan hamba ingin segera mohon diri untuk mempersiapkan segalanya” berkata mapatih Tepu dan segera bergegas meninggalkan ruang peraduan junjungannya ketika Srimaharaja Dharmawangsa mengangguk tanda merestuinya