Sabtu, September 12, 2009

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA(4.2)

Orang yang di panggil senopati itu menyeringai kemudian menyembah hormat pada patih Malengapati dan terseyum lebar lalu menyahut


“ Berkat doa mu kakang Patih, mungkin karena aku jadi bisa banyak makan sekarang ini di Wwatan” jawabnya yang terasa sangat lucu kedengarannya, karena bila melihat perawakannya yang begitu kurus seperti lidi orang itu mungkin malah tidak pernah makan.

“ aku tidak bisa lama-lama disini, sangatlah berbahaya” lanjut orang itu

“ Kejadian di dusun Wiyat sudah tercium oleh petinggi – petinggi di Wwatan, dan kebetulan aku yang diperintah oleh kanuruhan Panji tuluh agar menyelidiki kebenaran berita itu sehingga aku bisa segera menyusul kalian kemari “ berkata orang itu mencari kesan dari muka Patih Malengapati dan Senopati Guyang, namun kedua orang itu sepertinya tidak bereaksi apa-apa dengan berita yang di sampaikannya.

“ Lebih baik kalian segera meninggalkan tempat ini, karena aku yakin beberapa telik sandi Medang telah pula dikirim untuk menyelidiki keberadaan kalian” lanjutnya

“ Untuk menindak lanjuti apa yang telah aku bicarakan dengan kakang Senopati Guyang tempo hari, aku siap melakukannya asal apa yang kerajaan Wurawari janjikan padaku nantinya kalian tepati pula”

“ Jangan kuatir adi senopati, Raja Aji Wurawari tidak pernah mengingkari janjinya, apa lagi pada orang yang telah berjasa besar padanya, aku yang menjadi jaminannya” jawab patih Malengapati sambil menatap lekat pada orang itu.

“ Baiklah kalau demikian, aku percaya pada kalian, dan lebih baik aku segera meninggalkan tempat ini, demikian pula dengan kalian kalo bisa malam ini juga pergilah meneruskan perjalan pulang ke Lwaram” berkata orang itu sambil beranjak dari duduknya.

Suasana jadi sepi, ketiga orang itu hanya diam saling berpandangan seolah ingin menyatukan apa yang tengah menjadi pikiran mereka, sementara di luar suara jangkrik dan brung hantu seakan mengisi keheningan malam di tepi bulak Sirah itu.

Setelah beberapa waktu terjadi pembicaraan yang amat serius diantara ketiganya, akhirnya nampak sang tamu sudah bersiap siap mengakhiri pertemuan dan akan segera melangkah keluar dari tenda patih Malengapati.

“ oya, ada satu hal yang hampir aku lupa, ada Kabar dari istana kepatihan tadi pagi bahwa akan ada utusan dari Medang yang dikirim ke kerajaan Bedahulu untuk meminta anak raja dharma udayana menjadi menantu Sri Darmawangsa, pikirkanlah apa yang harus kalian lakukan terhadap hal itu” tambahnya.

Namun begitu ucapan orang itu selesai tiba-tiba di luar tenda patih Malengapati terdengar suara gaduh dari para prajurit Wurawari.

“ kuda – kuda kita lepas….. kuda – kuda kita lepas” teriak seorang prajurit dengan paniknya melihat kuda-kuda yang berlarian kesegala arah.

Sementara dari arah samping tenda patih Malengapati, tampak kuda – kuda prajurit Wurawari yang berlarian menerjang apa saja yang ada didepannya tanpa ada yang mengendalikannya, terlihat beberapa prajurit berusaha dengan susah payah mencoba menghentikan terjangan kuda – kuda itu, di tempat lain terlihat api berkobar – kobar, sedang beberapa ekor kuda nampak tengah berlarian kebingungan dengan menyeret beberapa tumpukan jerami kering yang menyala-nyala melalap semua yang di lintasinya, termasuk tenda peristirahatan para prajurit dan juga tenda senopati Guyang, seorang prajurit yang tak sempat menyelamatkan diri terbakar oleh ganasnya api dan yang lebih parah lagi, prajurit yang terbakar itu berlarian menuju kearah rekan – rekannya sesama prajurit hingga membuat suasana malam itu menjadi kacau balau.

“ Keparat, perbuatan siapa ini” Teriak Senopati Guyang yang berdiri disamping Patih Malengpati dan tamunya itu setelah keluar dari tenda patih Malengapati.

Namun belum habis gema teriakan senopati Guyang, tiba–tiba terdengar desingan beberapa warastra yang ditujukan kearah mereka. Dengan sigap senopati Guyang dan Senopati yang menjadi tamunya itu bergerak memutar pedang menangkis batang – batang anak panah hingga runtuh semua.

“ lindungi Patih “ teriak Senopati Guyang pada beberapa prajurit yang tengah berdiri di sisi tenda patih Malengapati.

Belum juga habis rasa terkejutnya, senopati Guyang di buat terperangah mendengar gemuruh suara roda-roda pedati di bagian lain yang di hela oleh beberapa orang berusaha menjauh dari tempat peristirahatan mereka.

“ kejar pedati – pedati itu, dan tangkap kembali kuda-kuda yang lepas itu, cepat laksanakan” teriaknya pada prajurit-prajurit yang berada disekitarnya, sambil langsung melesat mengejar kearah larinya pedati – pedati berisi benda berharga yang akan di bawa pulang kembali kekerajaannya.

Namun sebelum keinginanya mengejar kearah pedati – pedati itu terlaksana, terpaksa senopati dari Wurawari itu harus menahan langkahnya dan berjumpalitan menghindar, kembali ketempatnya semula karena beberapa anak panah yang dilepaskan seseorang dari arah salah satu tenda prajurit melesat kencang tepat kearahnya.

“ bangsat “ kutuknya, kemudian dengan kemarahan yang mencapai ubun-ubunnya, dia mengayunkan tinjunya ke arah dimana anak panah yang mencegat jalannya tadi berasal.

“ Aji Kaladara” teriak Senopati Guyang, seketika sebuah gelombang udara panas menghatam kearah tenda asal beberapa anak panah tadi di lepaska oleh seseorang, malang nasib beberapa prajurit yang berada di sekitar tenda itu, mereka menjadi hangus terbakar bersama tenda yang menjadi sasaran kemarahan Senopati Guyang.

Sementara itu di tengah – tengah menerpanya udara panas dari pukulan Aji Kaladara yang dilepaskan oleh Senopati Guyang berkelebat sebuah bayangan diselingi suara tawa dan melenting lalu menghilang kearah gerumbulan rumput ilalang dan gelapnya malam.

Di sisi sudut yang lain, terlihat senopati yang menjadi tamu mereka tengah bertempur seru dengan dua orang yang mengenakan penutup muka pula. Begitu seru pertempuran itu hingga beberapa gundukan rumput ilalang di sekitarnya tercerabut dari tanah.

“ Bedebah, siapa kalian ini” teriak orang itu yang berpakaian serba hitam becadar merah disela-sela pertempuran.

Namun dua orang yang menjadi musuhnya tidak mengeluarkan suara apapun, malah mereka menyerang makin beringas dari dua arah yang berlawanan. Dengan bersusah payah senopati tamu rombongan Wurawari itu berusaha menghindari serangan keris dan golok musuh yang seperti gelombang saling mengisi susul menyusul dari kiri, kanan, atas dan bawah hingga tak ada kesempatan baginya untuk mengeluarkan jurus – jurus andalannya. Sampai pada saat terdengar suitan panjang susul-menyusul dari berbagai arah, tiba-tiba dua orang penyerangnya mengeluarkan suara teriakan seperti harimau sekejap kemudian berbarengan mengeluarkan jurus bagai pusingan gangsing, merangsek menggebu dari segala arah dengan lebih ganas yang ditutup dengan melentingkan diri dan menghilang ditelan kegelapan.

“ Keparat ” teriak senopati yang kurus itu sambil berusaha menguasai jalan nafasnya yang tersengal sengal.

“ Siapa mereka …” kata Patih Malengapati yang tiba-tiba telah berada dibelakangnya bersama Senopati Guyang

“ Entahlah, aku tidak tahu, sepertinya aku pernah mengenal jurus-jurus yang mereka gunakan, tetapi aku belum bisa menebak dengan pasti dari perguruan mana mereka itu” Jawab senopati yang kurus itu dengan masih tersengal-sengal.

Namun dia terperangah melihat tatapan berapi-api dari kedua mata patih Malengapati yang ditujukan kearahnya.

“ kakang patih jangan menuduhku terlibat dengan semua ini, aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa ini, kalo toh mereka adalah telik sandi Medang tidak mungkin aku tidak tahu karena aku belum melaporkan apapun pada Kanuruhan Panji Tuluh, sehingga sangat kecil sekali kemungkinannya jika mereka adalah para telik sandi Medang “ jawab senopati kurus itu menyakinkan patih Malengapati.

Pada saat suasana yang serba tidak enak bagi tamu itu, terlihat lurah prajurit Luwar datang dengan tergopoh-gopoh menuju kearah mereka, sangat menggelikan sekali melihat keadaan lurah prajurit itu, seluruh wajah hingga kepalanya penuh dengan kotoran kuda, sepertinya dia telah terkena kotoran kuda saat mengejar kuda-kuda yang lepas tadi.

“ Ada apa ki lurah “ Tanya Senopati Guyang

“ Ampun senopati, saya ingin mengabarkan bahwa sebagian kuda-kuda yang lepas telah berhasil kami tangkap kembali, namun pedati-pedatinya tidak mampu kami selamatkan”

“apa !!!, keparat mereka itu” Teriak patih Malengapati, lalu membalikkan badannya kearah sang tamu yang masih berdiri dengan salah tingkah.

“ kau harus mampu mengungkap siapa dibalik peristiwa ini adi senopati, dan bila kau gagal maka semua janji yang telah kita sepakati aku anggap tidak ada dan kau akan menanggung semua akibatnya” kata patih Malengapati dengan tatapan berapi – api ke arah orang berdiri di sampingnya itu

“ baiklah aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengungkap siapa dibalik peristiwa ini, dan sebaiknya kalian segera pergi dari tempat ini sebelum pagi. Aku mohon diri sekarang juga” jawab senopati kurus itu tanpa menjura hormat pada patih Malengapati langsung membalik badannya menghilang ke arah gelapnya malam.

Tidak ada komentar: