Sabtu, Agustus 29, 2009

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA-(2.3)

       Perjamuan makan malam pun digelar, ki Buyut bahkan mengundang gamelan cokekan dari desa sebelah untuk ikut meramaikan suasana malam itu, seluruh rombongan tak luput pula dari kegembiraan, mereka di buat lupa akan kegagalan tugas yang diemban dan perjalanan jauh yang masih harus mereka ditempuh menuju Lwaram. Para prajurit Wurawari larut dalam suasana penuh keakraban yang di berikan oleh penduduk padusunan Wiyat, mereka menari-nari menirukan gaya penari wanita dari rombongan cokekan yang genit dan selalu menggoda agar para penonton ikut menari bersamanya.
Sementara itu di dalam bilik sang patih, patih Malengapati dan Senopati Guyang tengah bercakap – cakap sangat pelan seolah takut didengar oleh orang lain.
“Adi Guyang, besok pagi sebelum sang surya keluar dari persembunyiannya, kita harus sudah berangkat meneruskan perjalanan ini” berkata patih Malengapati setengah berbisik
Di jawab dengan anggukan oleh Senopati Guyang
“Dan setelah kita keluar dari dusun, suruh beberapa orang kepercayaanmu untuk kembali kemari dan membakar rumah Ki Buyut Wiyat ini” tambahnya dengan masih setengah berbisik
Senopati Guyang yang mendengar perintah itu mengernyitkan dahinya, seolah tak percaya dengan perintah yang baru diterimanya, jiwanya terasa miris mendengar perintah itu
“ Mengapa mesti di bakar kakang patih? Apa kesalahan ki Buyut dan penduduk desa ini? “ Tanya Senopati Guyang juga dengan setengah berbisik
“ Kesalahan mereka adalah telah membuatku muak dengan semua celoteh mereka, seakan-akan mereka dengan sengaja mengejek kegagalan kita meminang putri Dewi Galuh”
“Dan yang lebih penting dari itu, aku ingin agar Dharmawangsa, raja yang sombong itu, sadar bahwa kita orang Lwaram tidak bisa di remehkan begitu saja”
” Tapi bagaimana bila perbuatan kita ini di ketahui oleh orang-orang kerajaan Medang mengingat jarak desa ini dengan kotaraja Wwatan tidaklah begitu jauh”
” Itulah yang aku inginkan, agar mereka tahu bahwa kita orang-orang Wurawari berani berbuat kejam secara terang-terangan di depan hidung mereka, kau paham Adi Guyang “
“ Ya aku pahamdan aku mengerti kakang patih ” jawab Senopati Guyang masih setengah berbisik, meski di dalam hatinya dia tak setuju dengan apa yang dipikirkan oleh Patih Malengapati itu, karena dia tahu bahwa ki Buyut dan semua penduduk desa ini sama sekali tak mempunyai kesalahan apa-apa, segala apa yang dilakukan oleh penduduk desa ini semata – mata adalah perbuatan yang tulus tanpa pamrih apapun dan tak berhubungan sama sekali dengan kegagalan tugas mereka meminang putri Dewi Galuh, sambil menarik nafas dalam dia lalu beranjak keluar dari bilik patih Malengapati.
Kemudian dengan bahasa-bahasa sandi, dia mulai membagi tugas pada para prajuritnya di tengah suasana pesta di pendopo rumah ki Buyut kromo Wiyat. Namun tanpa di duga oleh patih Malengapati maupun Senopati Guyang, ternyata Ki Buyut yang sudah punya firasat tidak baik terhadap para tamunya itu, dengan diam-diam dia telah menugaskan seorang magersari untuk memata-matai apa saja yang terjadi di dalam bilik patih Malengapati.
“ Ki Buyut, kita harus segera bertindak, karena mereka besok pagi-pagi buta akan membakar rumah ini” berkata magersari yang ditugaskan oleh ki Buyut dengan berbisik ditengah keramaian jamuan malam itu
Ki Buyut seperti tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Apakah kamu tidak salah dengar Pujut? “ tanya ki Buyut pada magersari yang bernama Pujut itu
“Sumpah ki, itulah yang ku dengar dari balik dinding bilik patih itu” jawab Pujut menyakinkan
Ki buyut Terdiam sejenak memikirkan langkah apa yang mesti dilakukannya. Ki Buyut sadar, bahwa untuk melawan prajurit-prajurit dari Wurawuri itu sangat tidak mungkin, disamping jumlah mereka yang amat banyak juga tidak ada seorangpun dari penduduk desa yang memiliki kemampuan olah kanuragaan sehingga bila dia nekat melakukan perlawanan pasti akan sia-sia.
” Biarlah rumahku yang menjadi korban, dari pada mereka menumpas habis seluruh pedesaan ini” pikirnya dalam hati
“ Baiklah kalau begitu, kita tidak mungkin melawan mereka, sekarang kamu aku tugaskan untuk segera mengemasi barang-barang berharga di rumah ini secara diam-diam, nanti biar aku yang menyelamatkan orang-orang di rumah ini setelah mereka pergi, segeralah laksanakan” perintah Ki buyut, kemudian dia bergabung lagi dengan para tamu yang sedang menikmati malam perjamuan di pendopo rumahnya.
Tanpa menunggu perintah kedua kalinya, magersari itupun segera bergegas melaksanakan perintah Ki buyut.
Malam telah larut
Keramaian jamuan yang diselenggarakan ki buyut kromo wiyat pun telah usai pula, menjelang pagi ketika ayam berkokok sesekali dan anjing-anjing kampung melolong menandakan hari telah beranjak pagi, seluruh rombongan prajurit Wurawari berkemas – kemas untuk berangkat meneruskan perjalanan, Senopati Guyang memohon pamit dan berterimakasih pada tuan rumah atas segala sambutan yang telah diberikan, sementara patih malengapati tetap diam membisu diatas kuda tungganganya.
“ Kita berangkat” perintah Senopati Guyang.
Ki Buyut kromo Wiyat memandang rombongan itu berlalu hingga tak terlihat, tertutup kabut pagi yang begitu padat. Menyadari bayangan rombongan orang-orang kerajaan Wurawari itu sudah tidak terlihat lagi, bergegas Ki Buyut membangunkan seisi rumah untuk segera di ungsikannya ke rumah tetangga yang agak jauh dari rumahnya sendiri.
Dengan penuh tandatanya semua penghuni rumah mengikuti perintah ki buyut, berlarian menuju ke sebuah rumah yang berada di pojok desa. Sementara Ki Buyut bersama beberapa orang magersarinya bersembunyi dibalik pagar tetehan di seberang jalan di depan rumahnya.
“Ada apa ini pujut? kenapa kita mesti meninggalkan rumah seperti orang ketakutan begini” Tanya nyai buyut setelah mereka semua merasa aman dan berada di rumah tetangganya pada Pujut yang tengah meringkuk ketakutan berselimut kain kemul di sudut rumah. Belum lagi pujut sempat menjawab pertanyaan nyai Buyut, tiba-tiba dari arah perginya rombongan orang-orang Wurawari tadi, terdengar derap kaki–kaki kuda dipacu dengan kencang dan behenti tepat didepan regol milik Ki Buyut Wiyat.
“Bakar “ teriak salah seorang prajurit yang berada paling depan.
Tanpa banyak suara para prajurit yang berjumlah sepuluh orang itu menyalakan api dan melempar obor-obor yang dibawanya kearah rumah Ki Buyut. Hingga terlihat rumah yang hanya terbuat dari bahan kayu itu terbakar oleh api yang dengan cepat mulai merataki seluruh bagunan. Setelah puas melemparkan beberapa obor yang di pegangnya, pimpinan prajurit yang tadi mengeluarkan perintah itu, mengambil sebatang anak panah dari endongnya yang di sulut api kemudian melesatkannya keatas sebagai tanda bahwa tugas telah terlaksana dengan baik.
“ Kembali “ teriak pimpinan prajurit itu lagi.
Peristiwa itu terjadi dengan sangat cepat, sehingga penduduk yang keluar dari rumah untuk mengetahui apa yang terjadi akhirnya hanya bisa diam melihat rumah Ki Buyut terbakar dan rata oleh tanah

Tidak ada komentar: