Minggu, Agustus 30, 2009

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA(3.1)

3
        Matahari masih berada pada seperempat langit, namun panasnya serasa membakar kulit, seolah ikut marah dengan ulah manusia durjana yang menyengsarakan sesamanya. Siang itu kesedihan tersirat di wajah seluruh penduduk padusunan Wiyat, kegembiraan yang mereka rasakan tadi malam telah sirna tak berbekas, dengan wajah yang penuh duka para lelaki, tua maupun muda, bahu membahu menyingkirkan puing-puing sisa rumah Ki Buyut Kromo Wiyat dan memilah sisa-sisa bangunan yang mungkin masih bisa di pakai lagi. Sedang yang perempuan tanpa ada yang memerintah dengan cekatan ikut pula sibuk membantu nyai Buyut mengemasi sisa – sisa barang yang berharga, adapula yang langsung mengeluarkan beras serta sayur-sayuran untuk dimasak sebagai ransum bagi mereka yang sedang bergotong royong membangun rumah Ki Buyut kembali.
Aura merah saga, marah, membakar dan menggelayuti seluruh sisi-sisi padusunan, namun penduduk padusunan Wiyat itu merasa tiada berdaya,
“Beginilah nasib kawula alit, yang hanya mampu meratapi nasib tatkala tertindas oleh para penguasa yang durjana” keluh mereka.
Sementara penduduk padusunan Wiyat sedang sibuk membangun kembali rumah Ki Buyut, dari ujung desa terlihat enam orang laki-laki berperawakan gagah tengah mengendarai kuda dengan perlahan memasuki padusunan. Melihat penampilan mereka, dengan keris dan golok yang terselip di pinggang serta endong berisi beberapa batang anak panah yang di ikat di samping pelana kuda, orang langsung bisa tahu bahwa mereka adalah orang – orang yang punya kemampuan olah kanuragan.
“ Kakang Wira, sepertinya ada sesuatu yang telah menimpa padusunan ini, lihat disana, orang – orang itu sepertinya sedang bergerombol di depan sebuah rumah yang habis terbakar” berkata salah seorang dari rombongan itu.
“ Betul adi Prahasta, seperti ada sesuatu yang telah menimpa padusunan ini. Mari kita segera kesana” jawab laki-laki berkumis tebal yang bernama wira itu sambil membedal kudanya bergegas kearah yang di tunjuk oleh temannya yang bernama Prahasta.
“ baik, ayo semua segera kita menuju kesana” teriak Prahasta, sambil ikut membedalkan kudanya diikuti oleh rekan-rekannya yang lain.
Namun betapa terkejut mereka begitu sesampainya ditempat itu, semua mata sepertinya memandang mereka dengan tatapan marah dan penuh kebencian. Wira yang merasa ada kesalah pahaman dengan kehadiran mereka, segera turun dari atas kudanya, lalu dengan ramah menjura pada orang –orang itu
“ Mohon maaf para kadang sekalian bila kehadiran kami mengganggu kegiatan kalian”
“ kami adalah para murid padepokan Cane yang akan pergi ke Kotaraja Wwatan dan secara kebetulan lewat di padusunan ini” kata Wira yang sepertinya adalah pimpinan rombongan dari padepokan Cane itu.
“ Selamat datang,…selamat datang kisanak dari padepokan Cane” kata Ki Buyut yang tiba-tiba menyeruak dari kerumunan penduduk.
“ Bagaimana kabar adi Niti Cane kisanak, apakah dia dalam keadaan sehat?,”
”Ada angin apakah kiranya yang membawa kalian para murid padepokan Cane singgah di padusunan kami ini “ tambah Ki buyut yang masih tetap terlihat ramah mesti sedang tertimpa musibah.
Rombongan murid padepokan cane itu kaget mengetahui ada orang yang kenal dengan bapa gurunya berada diantara kerumunan orang-orang desa itu.
“Bapa Guru Niti dalam keadaan sehat paman, kami secara kebetulan lewat Padusunan ini, karena kami sedang menuju ke kotaraja Wwatan untuk mengabdikan diri menjadi prajurit kerajaan Medang sesuai perintah Bapa Guru Niti, kalo boleh kami tahu siapakah paman ini dan apa yang telah terjadi pada padusunan ini paman” jawab Wira sambil sekilas mengarahkan pandangannya ke sisa-sisa bangunan rumah ki buyut yang terbakar.
“Aku adalah Ki Buyut kromo Wiyat, Padusunan ini bernama dusun Wiyat dan rumah yang terbakar itu adalah rumahku “ jawab Ki buyut sambil menghela napas teringat akan musibah yang menimpa padusunan yang dipimpinnya.
Wira ingat bahwa gurunya pernah menyebut nama Ki Buyut Kromo wiyat sebagai orang yang harus mereka hormati, karena pernah dengan sukarela memberikan bantuan tempat singgah pada bapa gurunya ketika bapa gurunya kemalaman dalam melakukan perjalanan pulang dari kotaraja Wwatan, dan karena kebaikan ki buyut itu kemudian menjadikan hubungan antara ki buyut dan gurunya bagaikan saudara kandung saja, bahkan untuk mengukuhkan persaudaraan mereka, beberapa waktu yang lalu bapa gurunya telah menjodohkan salah seorang anak muridnya bila kelak telah menyelesaikan pelajarannya di perguruan dengan anak perempuan Ki Buyut Wiyat itu.
“ Lantas apa yang telah terjadi bapa “ Tanya Prahasta yang seolah mewakili apa yang menjadi pertanyaan murid – murid padepokan Cane itu.
“ Kemarin malam dusun kami ini telah kedatangan rombongan tamu yang singgah kemari dalam perjalanan pulang dari kotaraja menuju ke Lwaram”
“ Namun entah kesalahan apa yang telah aku buat sehingga membuat mereka demikian marah padaku dan membakar rumahku ini” lanjut Ki Buyut
“ apakah rombongan itu adalah rombongan para prajurit dengan panji – panji Wurawari yang membawa tiga buah pedati bapa” Tanya Prahasta
“ ya benar, mereka baru tadi pagi, sebelum matahari terbit telah meninggalkan dusun kami” jawab Ki buyut yang kemudian menceritakan semua kejadian yang menimpa padusunannya pada anak-anak murid padepokan Cane itu.
Murid-murid padepokan Cane mendengar dengan seksama apa yang diceritakan Ki buyut. Mereka seperti tidak percaya bahwa para prajurit Wurawari begitu tega melakukan hal terkutuk setelah menerima segala kebaikan dari ki Buyut dan penduduk dusun Wiyat. Mereka masih ingat bahwa tadi pagi mereka berselisih jalan dengan rombongan itu, yang berjumlah kira – kira lima puluhan orang dengan menyeret tiga buah pedati, kesan yang mereka terima pada saat berselisih jalan itu memang kurang menyenangkan, terutama terhadap salah seorang yang sepertinya menjadi pimpinan rombongan itu, yang menatap mereka dengan tatapan tidak bersahabat serta memberikan kesan licik pada sorot matanya.
Setelah ki buyut mengakhiri ceritanya, seperti di komando murid – murid padepokan cane itu, antara satu dengan yang lain saling pandang kemudian dengan trengginas mereka meloncat ke kuda masing-masing dan memacukan kudanya menuju kearah dari mana mereka datang tadi untuk menyusul rombongan prajurit Wurawari yang telah melakukan perbuatan terkutuk di desa Wiyat.
“ Paman Buyut wiyat, kami mohon diri dulu, suatu waktu nanti kita pasti bertemu kembali, sekiranya, kami akan menuju ke kotaraja Wwatan untuk mengabdikan diri menjadi prajurit Kerajaan Medang sesuai dengan perintah bapa guru kami, namun sepertinya, kami harus menunda tujuan itu karena ada hal yang lebih penting dari sekedar menjadi prajurit pada saat sekarang ini, mohon doa restunya paman” ujar Wira pada ki buyut Wiyat sebelum membedalkan serta memacu kuda tunggangannya menyusul rekan-rekannya yang telah lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Enam orang anak murid Padepokan Cane itu memacu kuda – kuda mereka bagai orang kesetanan, amarah yang begitu membakar hati terpancar dari raut muka mereka. Apa yang telah terjadi di dusun wiyat itu telah membangkitkan jiwa untuk membela kebenaran seperti yang selalu menjadi wejangan gurunya. Debu – debu yang tercipta dari setiap langkah kuda – kuda mereka membumbung tinggi ke udara seolah ikut serta menumpahkan amarah menyelimuti sepanjang jalan yang di laluinya. Namun setelah mereka tiba di sebuah persimpangan jalan, tiba – tiba Prahasta yang berada paling depan dalam rombongan itu memberi tanda agar teman – temannya berhenti.
“ Ada apa adi Prahasta, kenapa kau menghentikan kita disini” Tanya Sumprit alu, seorang pemuda yang pendiam dengan perawakan paling besar diantara rombongan itu.

Tidak ada komentar: