Sabtu, September 12, 2009

SERI PANJISAKA- GEGER DI PUNCAK MERAPI (2.2)

“ Ki damir ini adalah teman saya bermain dulu waktu kecil… ya disini.. dipadukuhan pakeman ini.. mungkin para sesepuh padukuhan masih ingat dengan beliau… rumah beliau dulu di pojok desa.. karena ditinggal oleh kedua orangtuanya.. lalu ki damir mengabdikan diri ke kademangan ngambat.. sampai sekarang ..” mendengar penjelasan ki lurah , terlihat para sesepuh yang duduk dideretan depan saling menggut-manggut tanda mereka lamat-lamat ingat terhadap orang yang disebut ki Damir itu.
“ Namun sayang.. “ lanjut ki Lurah.. “ sepekan yang lalu menurut Warta yang dibawa Ki damir ini, bahwa kademangan Ngambat telah diserang oleh orang-orang Bintoro…” semua orang menjadi tegang mendengar kabar itu.. suasana jadi sepi.. seolah-olah semua orang menahan nafasnya.. tiba-tiba dari kerumunan orang dibelakang terdengar suara batuk-batuk kecil, lalu muncul seorang kakek tua yang mengenakan surjan lurik lusuh…
“ Ki Lurah… Mungkin padukuhan kita ini pun akan mengalami hal yang sama…. “ ujar kakek tua itu sambil berjalan menuju kearah ki Lurah duduk. Ki lurah dan semua sesepuh padukuhan berdiri menjura hormat pada kakek tersebut, lalu ki Lurah menjura dengan begitu hornat..
“ Selamt Datang Ki Demung Ganjer… Maaf kalau kami tidak menyambut kedatangan aki..”
orang yang disebut ki Demung ganjer itu mengangkat tangan dan meneruskan kata-katanya..
“ lebih baik sekarang kita semua bersiap-siap, menyambut kedatangan mereka.. usahakan untuk tidak terjadi pertempuran… karena hal semacam itu akan merugikan semua pihak… “
“ Betul apa yang dikatakan Ki Demung…, harap semua kadang kembali kerumah masing –masing, dan ki Jagabaya mohon untuk segera memperketat penjagaan “ kata ki lurah pada semua orang yang berada di pendopo. Mendengar perintah Ki Lurah , semua orang membubarkan diri, Ki Jagabaya pun beranjak dari duduknya bersiap untuk mengatur semua penjagaan di padukuhannya. Namun sebelum keluar dari pendopo Ki Jagabaya menjura pada Ki Demung ganjer.. “ Bagaimana Keadaanmu Kakang.. “ Ki jagabaya menyebut Ki Demung sebagai kakang walau usianya terpaut sangat jauh karena mereka adalah cantrik-cantrik Ki Ageng Pameling Jati.
“ aku Baik-baik saja adi Agung Garling… jaga dirimu baik-baik, firasatku sangat tidak enak dengan semua ini..”
“ baik kakang , mohon doa restunya” di jawab dengan anggukan oleh Ki Demung, kemudian bergegas Ki Jagabaya keluar dari pendopo.
Ki Lurah, Ki damir dan juga Ki demung tetap di pendopo, setelah ki Lurah memperkenalkan Ki Damir pada Ki Demung,dan juga menceritakan keadaan di ngambat. Ki demung Ganjer pun menceritakan pengalamannya setelah beberapa hari ini meninggalkan padepokan, apa yang dijumpainya di perjalanan mencari junjungannya Ki Ageng Pameling Jati. Memang tujuan Ki Demung meninggalkan Padepokan adalah mencari Junjungannya karena sudah berpuluh-puluh tahun dia ikut Ki ageng Pameling Jati walau hanya sebagai cantrik, baru kali ini ada kejadian seperti ini, junjungan nya pergi tanpa pesan apapun kepadanya, sehingga membuatnya bingung. Namun di tengah perjalanannya mencari Junjungannya itu dia mendapat pesan dari Ki Ageng pada sebatang Lontar, yang memintanya untuk tidak usah mencari Ki Ageng Pameling Jati , Ki demung diminta Untuk Kembali ke Padepokan dan menyelamatkan Padukuhan dan menyelamatkan Lelananging jagat yang akan datang ke padukuhan pakeman, serta mengabdi pada salah satu Murid Kiageng Pameling yaitu Ki Ageng Panyuluhan di Padepokan Sasmita Jati. Oleh karena itu Ki demung bergegas pulang ke padukuhan Pakeman, dalam perjalanan itulah dia melihat pergerakan orang –orang bintoro menuju ke Padukuhan Pakeman.
Lama mereka bercakap-cakap ..tanpa terasa matahari telah tergelincir kebarat. Kemudian atas permintaan ki Lurah, mereka beranjak meninggalkan Pendopo Padukuhan menuju ke rumah Ki lurah.

SERI PANJISAKA- GEGER DI PUNCAK MERAPI (2.1)

2


pagi ….

Kabut masih menyelimuti jalan di padukuhan itu, pada sebuah rumah ditengah-tengah padukuhan, terdengar sedang orang bercakap-cakap, rumah ki lurah prajoto, rumah yang teramat sederhana, terbuat dari dinding gedek atau anyaman kulit bambu yang sudah kelihatan tua dimakan usia, atapnya dari daun-daun kelapa kering yang diayam dan disatukan dengan sebatang bambu sebagai tumpuannya. terlihat ki lurah prajoto dan Ki Damir sedang berbicara serius, ada ketegangan diraut muka masing-masing orang paroh baya itu.

“Demikian lah to ceritanya” ucap Ki damir yang masih memanggil nama terhadap ki lurah yang menjadi sahabatnya diwaktu kecil.

“ Aku bersama den ayu harus dengan diam-diam meninggalkan pademangan, berat rasanya…

melihat teman-temanku semua terbujur menjadi mayat oleh tangan-tangan prajurit bintoro..”

“ Bagaimana dengan Ki Demang Panji sodra ?”

“ itulah….. yang mengganggu pikiranku sampai sekarang.., semua kabar dari teliksandi tak ada yang sampai padaku hingga sampai di padukuhan ini..” ujar Ki Damir dengan raut muka yang sedih.

“ Ketika terakhir bertemu dengan Ki demang adalah saat matahari sedikit tergelincir ke barat, beliau memanggilku di pasemadennya”

“ Ki Damir… sudah setengah dari umurku kamu ikut aku…..aku percaya padamu, dan mungkin ini adalah hari terakhir kita bisa bertemu, aku titip anak dan istriku padamu, bawalah mereka ke padepokan Ki Ageng Pameling Jati di lereng merapi… bawalah kabar ini pada Ki Ageng… “ ucap ki Damir menirukan ucapan junjungannya. Ki Lurah Prajoto terdiam mendengarnya, seolah sedang membayangkan prahara yang menimpa kademangan ngambat.

“ hem..hem.. wah.. kalian ini kalo udah ketemu sudah ndak ingat waktu…sampai – sampai makanan di depan mata tak juga disentuh” seloroh seorang perempuan paroh baya dari balik pintu ruangan tengah.

“ weleh..weleh… kamu Sumi toh?.. kamu jadi nyai lurah toh sekarang…” ujar ki Damir sambil beranjak dari dipan tempatnya duduk. Perempuan yang disebut sekar itu tersenyum dan berkata.

“ iya.. bagaimana keluargamu kang damir… maaf aku baru menemui sekarang , karena semalam kakang tidur begitu pulas sampai suara jangkrik di pinggir rumah takut untuk bersuara…” Ki Damir tersipu , mungkin karena capek yang teramat membuat dia langsung tidur tadi malam begitu melihat dipan, dan dengkurannya itu yang disebut menakuti jangkrik…

“ wah.. maaf kalo begitu.. aku belum kraman nyi, ndak ada yang kepincut…” ujar ki Damir

“ monggo lho diminum kopinya, mumpung masih hangat, aku mau kedalam dulu membuatkan hidangan buat den Ayu mu “ seloroh nyai lurah sambil meletakkan dua cangkir kopi panas di dipan, lalu pergi ke balik pintu.

“bagaimana to… apakah benar kata orang orang semalam bahwa Ki Ageng tidak ada di Padepokan?” meneruskan Ki Damir

“ Betul Mir.. tidak ada seorangpun yang tahu kemana Ki ageng pergi, bahkan Ki demung Ganjer cantriknyapun tidak tahu.. dan sekarang ki Demung juga tidak ada di Padepokan…”

“ Duh Gusti… apa yang harus aku lakukan..” rintih Ki Damir.

Keduanya terdiam , tenggelam dalam alam pikirannya masing-masing.

“ Kulonuwun Ki Lurah…” terdengar sebuah suara didepan rumah,

“ Monggo… o.. ki Jagabaya.. mari masuk” jawab ki Lurah sambil membukakan pintu.

Yang masuk adalah seorang lelaki bertubuh tegap, dengan kumis melintang seperti tokoh pewayangan werkudoro. Lelaki ini yang semalam menjadi pemimpin orang-orang yang mencegat Ki Damir, dari langkah dan nafasnya Ki Damir tahu bahwa orang ini mempunyai kemampuan olah kanuragan yang lumayan. Untung semalam tidak terjadi perkelahian,kalo saja terjadi mungkin akan susah menjatuhkan nya dalam 10 gebrakan. Pikir Ki damir.

Lelaki yang disebut ki Jagabaya itu mengangguk hormat kepada ki Damir, lalu ikut duduk di samping Ki lurah Prajoto.

“ Ini adalah Ki Jagabaya agung garling, dulu dia adalah cantriknya ki Ageng juga lalu oleh ki ageng diminta membantuku menjadi jagabaya” ucap Ki Lurah memperkenalkan tamunya.

“ ah.. saya hanya seorang cantrik yang lopo ki.. tidak bisa apa-apa.. “ ujar ki Jagabaya merendah. Ki damir tersenyum, senang melihat cara merendah ki Jagabaya ini, pantas kalo dia menjadi cantriknya Ki ageng.

“ Mungkin kamu bertanya-tanya kenapa padukuhan dijaga siang malam seperti ini ki damir”sambung ki lurah yang mulai tidak menyebut nama pada sahabatnya itu.

“ iya kenapa Ki lurah…”

“ seperti juga kademangan Ngambat, kami juga berjaga-jaga dari amukan pasukan bintoro, karena berita yang kami dengar, mereka juga mencari Ki ageng Pameling Jati karena dianggap menyebarkan ajaran abangannya siti brit”

“ tentu saja kami tidak ingin junjungan padukuhan kami di injak-injak, oleh karena itulah kami… “ sambung Ki jagabaya dengan nafas tersengal seolah menahan amarah yang hampir meledak. “ menjaga padukuhan ini sedemikian rupa…”

Mereka bertiga mengobrol hingga waktu matahari ditengah ubun-ubun, kemudian bersama mereka menuju kependopo padukuhan yang ternyata sudah dikerumuni banyak orang, yang ingin mendengarkan penjelasan ki Lurah terhadap kejadian semalam.


Pendopo padukuhan Pakeman….

Bangunan pendopo itu merupakan bangunan tanpa dinding, hanya tiang-tiang penyangga berjumlah delapan yang terlihat tegak gagah dan menghitam, lantainya terbuat dari batu hitam persegi empat yang disusun rapi, serta licin entah bagaimana membuatnya, mungkin karena seringnya di pakai untuk duduk dan kegiatan padukuhan hingga membuat batu-batu lantai dari batu hitam koral itu licin seperti ubin.

Siang ini seluruh lantai sesak dijejali orang-orang padukuhan yang ingin mendengarkan keterangan tentang tamu desa. semua laki-laki yang tua, yang menjadi sesepuh padukuhan duduk bersila paling depan, sementara orang –orang muda dibelakangnya, bahkan ada yang bergerombol dipintu masuk pendopo serta diterasnya. Ki Lurah Prajoto terlihat duduk berhadapan dengan warganya di dampingi Ki Jagabaya Agung garling yang duduk disebelah kirinya. Sementara Ki Damir duduk di sudut kanan ruangan, sambil matanya mengamati seluruh suasana dipendopo. Ki Lurah membuka pertemuan itu dengan mengucapkan salam dan hormat pada tetua-tetua padukuhan yang hadir.

“ Para Kadang Padukuhan Pakeman sekalian, pertemuan siang hari ini merupakan pertemuan yang cukup penting bagi kita semua…. Bagi padukuhan kita..bagi anak cucu kita..” kata ki lurah lantang.lalu meneruskan.

“ di samping kita ini … orang yang jadi tamu kita semua .. yang tadi malam datang dan dicegat oleh ki Jagabaya… adalah saudara kita sendiri.. namanya ki damir dari kademangan ngambat…, mereka datang karena ingin bertemu dengan junjungan kita Ki Ageng Pameling Jati.. namun sayang bahwa ki Ageng tidak berada di padepokannya , dan kita tidak tahu kemana beliau pergi…” ki lurah berhenti sambil mengambil nafas ..

SERI PANJISAKA- GEGER DI PUNCAK MERAPI (1)

1
Malam teramat kelam ketika sebuah pedati yang ditarik seekor sapi berjalan melalui jalan setapak di lereng merapi. Hujan baru saja reda, bau tanah basah masih tercium , menyengat hidung , bersama dingin yang mengigit setiap pori-pori. Suara jangkrik dan burung – burung malam menambah suasana malam jadi semakin mencekam. Jalan setapak yang becek dan licin membuat jalanan itu sangat lengang. Jarang orang mau keluar melalui jalan setapak itu dalam cuaca yang seperti ini, bahkan mungkin binatang – binatang hutan yang biasanya menunggu mangsa yang melewati jalan itupun seperti enggan untuk keluar.
Kusir pedati berkali-kali melecutkan cemeti nya seolah tak sabar melihat jalannya sapi yang sangat lamban, namun sapi itu seperti tak peduli dengan suasana hati tuannya. sementara didalam pedatinya seorang perempuan muda dengan anaknya tertidur lelap tanpa mempedulikan teriakan dan bunyi lecutan cemeti sang kusir. Dari raut wajah perempuan itu terlihat kecemasan dan kelelahan yang amat sangat, tiba-tiba perempuan itu terbangun.
“masih jauhkah perjalanan kita ki Damir? “ Sang kusir menoleh kebelakang sebelum menjawab pertanyaan perempuan itu.
“Sepenanak nasi , kalau tidak ada aral melintang kita sudah sampai den Ayu”
“Semoga ki….”
“Sudah hampir sepekan kita lalui perjalanan ini, bagaimana keadaan kakang panji yang aki dapatkan dari telik sandi , apakah beliau masih hidup? “
“ maaf den ayu, semua keterangan sepertinya buram, bagai mbang kertas kusam….
“ Sampai detik ini saya belum mendapat kejelasan…, sejak kademangan diserang orang-orang bintoro, saya belum bisa memperoleh keterangan.” Ki damir diam sejenak, lalu menarik nafas dalam dan berat.
“ Yang paling penting sekarang adalah membawa den ayu beserta ananda Panji saka sampai di padepokan Ki Ageng pameling jati, seperti pesan ndoro kakung ki Demang Panji sodra,..
Semua diam kembali,
Hening….
Hanya suara roda pedati yang semakin bising oleh jalan yang mulai menanjak dan berbatuan.
Di kejauhan mulai terlihat kerlip-kerlip lampu sebuah dusun…
Suara lolong anjing kampung seolah menyambut kedatang pedati itu, disusul bunyi kentongan yang dipukul bersahut-sahutan. Suara titir kentongan itu bersahutan seperti ada yang memberi komando, suara titir itu sepertinya bukan suara titir kentongan biasa tapi merupakan suara tanda bahaya, Ki Damir agak was-was, dia hapal betul dengan suara titir kentongan tanda bahaya itu, sama dimana saja suara titir kentongan tanda bahaya itu, di kademangan Ngambat juga begitu untuk memberi tanda bahaya. Tak sampai sepenggalan nafas, terlihat sebuah Gapura padukuhan berdiri kokoh di kanan-kiri jalan, terbuat dari batu hitam berbentuk persegi lima berukiran naga. Tiba-tiba dari kanan-kiri jalan didepan gapura padukuhan itu bermunculan sosok-sosok manusia menghadang jalannya pedati.
“ Berhenti….” Berteriak seorang lelaki yang berdiri paling depan, sepertinya dialah pemimpin kelompok orang-orang ini. Ki Damir menghentikan pedatinya, sambil tangan kirinya bersiap memegang gagang golok yang selalu terselip di pinggang kanannya. Dalam suasana Negara sedang kacau begini apapun bisa terjadi, bahkan yang sama sekali tidak diperhitungkan pun bisa terjadi, demikian pikiran Ki Damir.
“Maaf Ki sanak…, hendak kemanakah kisanak membawa pedati ini?... dan siapakah ki sanak ini? mengapa menempuh perjalanan pada tengah malam begini menuju padukuhan kami ? “
Lega Ki damir mendengar suara yang sopan namun tegas dari orang yang menegurnya. Ki Damir kemudian turun dari pedati sebelum menjawab pertanyaan orang itu.
“ Maaf Kisanak, kalo kami sudah membuat ketidak wajaran, namun sebenarnyalah kami memang tengah mengunjungi sahabat di ereng-ereng merapi ini, …”
“ Perjalanan sepekan sudah kami tempuh dengan pedati ini dari kademangan ngambat, hanya untuk kemari…, Saya ki damir seorang abdi kademangan ngambat”
“ siapakah orang yang akan kisanak kunjungi itu? Apakah Ki ageng Pameling Jati?...
“ benar …” hampir berseru ki damir menjawab perkataan orang itu..
“ maaf kisanak Damir , kalo itu tujuan kisanak lebih baik kisanak kembali saja, karena sudah hampir satu kali purnama Ki Ageng tidak berada di Padepokannya”
“kemana ki ageng itu..?.. tiba-tiba dari dalam pedati muncul seorang perempuan dengan menggendong anak yang kira-kira berumur 3 tahun di depan dadanya, sedang tertidur pulas. Pimpinan orang-orang itu mengernyitkan alisnya pertanda tidak suka mendengar nada bicara perempuan itu.
Buru-buru ki Damir yang mampu membaca suasana itu menengahi
“ maaf Ki sanak, beliau adalah junjungan saya Den Ayu Dyah Lastriti istri dari ki demang panji sodra dari ngambat beserta putranya Panji saka”
“ aku tidak peduli kamu satria atau pandhita sekalipun, kalo maksud kalian ingin bertemu Ki Ageng, lebih baik kalian pulang,” tegas perkataan orang yang menjadi pimpinan itu , yang disambut orang-orang disekitarnya dengan mengangkat senjata, ada yang membawa golok, pacul bahkan talu pemukul lesung padi. Ki Damir menyapukan pandangan matanya pada setiap orang yang mencegatnya satu persatu, sepertinya mereka bukanlah golongan prajurit atau orang – orang yang terbiasa dengan olah kanuragan tapi mereka seperti para penduduk biasa yang entah karena apa mereka semua siap siaga angkat senjata untuk perang, pikir Ki Damir.
Suasana menjadi tegang, seluruh nadi ditubuh ki Damir meregang siap untuk menempuh segala hal. Hingga terdengar suara kaki berjalan tergesa kearah mereka.
“ Damir…damir… dodol kamu mir… lemah ini masih omahmu yang dulu ..oalah dodol…dodol..” ucapan ini keluar dari seorang setengan baya, seusia ki damir, berpakaian surjan lurik kumal, dan iket klawu, pakaian orang desa. Orang itu menyeruak diantara kerumunan orang yang sudah siap untuk perang, semua orang menoleh lalu menjura bersama-sama. ” Ki Lurah,…”
“wealah… to… prajoto… kamu to itu…” seru ki Damir , kedua orang ini kemudian berpelukan. bagaikan sahabat yang sudah lama tidak bertemu, memanglah benar, bahwa orang yang disebut parjoto oleh ki damir, dan ki lurah orang orang-orang yang menghadang ki damir itu adalah sahabat kecil ki damir. Hampir 30 tahun mereka tidak bertemu, sejak ki damir meninggalkan dukuh Pakeman menuju Ngambat dan mengabdi pada demang disana.
“Kamu tambah gagah mir… beda dengan aku…. Tanah-tanah sawah disini sudah mulai berani mengerogoti tulang-tulangku…” sapa ki Lurah prajoto ramah, ki damir tersenyum.
“ maafkan aku prajoto, telah membuat keributan ini…kami hanya…”
“sudahlah….” Potong ki lurah,” lebih baik kamu ketempatku dulu untuk istirahat, kasihan si kecil ini, dia sudah kedinginan., mari…mari…” sambung ki lurah yang kemudian menghadap kepada orang-orang yang masih berkerumun dan terheran-heran melihat sikap lurahnya. Bukankah tadi siang ki Lurah sendiri yang meminta kepada mereka untuk memperketat penjagaan kampung dan tidak memperbolehkan siapapun masuk padukuhan itu bila malam hari.
“ dan ,kalian semua.. kembalilah ketempat kalian masing-masing berjaga, besok siang kalian semua boleh mendengar penjelasanku di pendopo padukuhan”

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA(4.2)

Orang yang di panggil senopati itu menyeringai kemudian menyembah hormat pada patih Malengapati dan terseyum lebar lalu menyahut


“ Berkat doa mu kakang Patih, mungkin karena aku jadi bisa banyak makan sekarang ini di Wwatan” jawabnya yang terasa sangat lucu kedengarannya, karena bila melihat perawakannya yang begitu kurus seperti lidi orang itu mungkin malah tidak pernah makan.

“ aku tidak bisa lama-lama disini, sangatlah berbahaya” lanjut orang itu

“ Kejadian di dusun Wiyat sudah tercium oleh petinggi – petinggi di Wwatan, dan kebetulan aku yang diperintah oleh kanuruhan Panji tuluh agar menyelidiki kebenaran berita itu sehingga aku bisa segera menyusul kalian kemari “ berkata orang itu mencari kesan dari muka Patih Malengapati dan Senopati Guyang, namun kedua orang itu sepertinya tidak bereaksi apa-apa dengan berita yang di sampaikannya.

“ Lebih baik kalian segera meninggalkan tempat ini, karena aku yakin beberapa telik sandi Medang telah pula dikirim untuk menyelidiki keberadaan kalian” lanjutnya

“ Untuk menindak lanjuti apa yang telah aku bicarakan dengan kakang Senopati Guyang tempo hari, aku siap melakukannya asal apa yang kerajaan Wurawari janjikan padaku nantinya kalian tepati pula”

“ Jangan kuatir adi senopati, Raja Aji Wurawari tidak pernah mengingkari janjinya, apa lagi pada orang yang telah berjasa besar padanya, aku yang menjadi jaminannya” jawab patih Malengapati sambil menatap lekat pada orang itu.

“ Baiklah kalau demikian, aku percaya pada kalian, dan lebih baik aku segera meninggalkan tempat ini, demikian pula dengan kalian kalo bisa malam ini juga pergilah meneruskan perjalan pulang ke Lwaram” berkata orang itu sambil beranjak dari duduknya.

Suasana jadi sepi, ketiga orang itu hanya diam saling berpandangan seolah ingin menyatukan apa yang tengah menjadi pikiran mereka, sementara di luar suara jangkrik dan brung hantu seakan mengisi keheningan malam di tepi bulak Sirah itu.

Setelah beberapa waktu terjadi pembicaraan yang amat serius diantara ketiganya, akhirnya nampak sang tamu sudah bersiap siap mengakhiri pertemuan dan akan segera melangkah keluar dari tenda patih Malengapati.

“ oya, ada satu hal yang hampir aku lupa, ada Kabar dari istana kepatihan tadi pagi bahwa akan ada utusan dari Medang yang dikirim ke kerajaan Bedahulu untuk meminta anak raja dharma udayana menjadi menantu Sri Darmawangsa, pikirkanlah apa yang harus kalian lakukan terhadap hal itu” tambahnya.

Namun begitu ucapan orang itu selesai tiba-tiba di luar tenda patih Malengapati terdengar suara gaduh dari para prajurit Wurawari.

“ kuda – kuda kita lepas….. kuda – kuda kita lepas” teriak seorang prajurit dengan paniknya melihat kuda-kuda yang berlarian kesegala arah.

Sementara dari arah samping tenda patih Malengapati, tampak kuda – kuda prajurit Wurawari yang berlarian menerjang apa saja yang ada didepannya tanpa ada yang mengendalikannya, terlihat beberapa prajurit berusaha dengan susah payah mencoba menghentikan terjangan kuda – kuda itu, di tempat lain terlihat api berkobar – kobar, sedang beberapa ekor kuda nampak tengah berlarian kebingungan dengan menyeret beberapa tumpukan jerami kering yang menyala-nyala melalap semua yang di lintasinya, termasuk tenda peristirahatan para prajurit dan juga tenda senopati Guyang, seorang prajurit yang tak sempat menyelamatkan diri terbakar oleh ganasnya api dan yang lebih parah lagi, prajurit yang terbakar itu berlarian menuju kearah rekan – rekannya sesama prajurit hingga membuat suasana malam itu menjadi kacau balau.

“ Keparat, perbuatan siapa ini” Teriak Senopati Guyang yang berdiri disamping Patih Malengpati dan tamunya itu setelah keluar dari tenda patih Malengapati.

Namun belum habis gema teriakan senopati Guyang, tiba–tiba terdengar desingan beberapa warastra yang ditujukan kearah mereka. Dengan sigap senopati Guyang dan Senopati yang menjadi tamunya itu bergerak memutar pedang menangkis batang – batang anak panah hingga runtuh semua.

“ lindungi Patih “ teriak Senopati Guyang pada beberapa prajurit yang tengah berdiri di sisi tenda patih Malengapati.

Belum juga habis rasa terkejutnya, senopati Guyang di buat terperangah mendengar gemuruh suara roda-roda pedati di bagian lain yang di hela oleh beberapa orang berusaha menjauh dari tempat peristirahatan mereka.

“ kejar pedati – pedati itu, dan tangkap kembali kuda-kuda yang lepas itu, cepat laksanakan” teriaknya pada prajurit-prajurit yang berada disekitarnya, sambil langsung melesat mengejar kearah larinya pedati – pedati berisi benda berharga yang akan di bawa pulang kembali kekerajaannya.

Namun sebelum keinginanya mengejar kearah pedati – pedati itu terlaksana, terpaksa senopati dari Wurawari itu harus menahan langkahnya dan berjumpalitan menghindar, kembali ketempatnya semula karena beberapa anak panah yang dilepaskan seseorang dari arah salah satu tenda prajurit melesat kencang tepat kearahnya.

“ bangsat “ kutuknya, kemudian dengan kemarahan yang mencapai ubun-ubunnya, dia mengayunkan tinjunya ke arah dimana anak panah yang mencegat jalannya tadi berasal.

“ Aji Kaladara” teriak Senopati Guyang, seketika sebuah gelombang udara panas menghatam kearah tenda asal beberapa anak panah tadi di lepaska oleh seseorang, malang nasib beberapa prajurit yang berada di sekitar tenda itu, mereka menjadi hangus terbakar bersama tenda yang menjadi sasaran kemarahan Senopati Guyang.

Sementara itu di tengah – tengah menerpanya udara panas dari pukulan Aji Kaladara yang dilepaskan oleh Senopati Guyang berkelebat sebuah bayangan diselingi suara tawa dan melenting lalu menghilang kearah gerumbulan rumput ilalang dan gelapnya malam.

Di sisi sudut yang lain, terlihat senopati yang menjadi tamu mereka tengah bertempur seru dengan dua orang yang mengenakan penutup muka pula. Begitu seru pertempuran itu hingga beberapa gundukan rumput ilalang di sekitarnya tercerabut dari tanah.

“ Bedebah, siapa kalian ini” teriak orang itu yang berpakaian serba hitam becadar merah disela-sela pertempuran.

Namun dua orang yang menjadi musuhnya tidak mengeluarkan suara apapun, malah mereka menyerang makin beringas dari dua arah yang berlawanan. Dengan bersusah payah senopati tamu rombongan Wurawari itu berusaha menghindari serangan keris dan golok musuh yang seperti gelombang saling mengisi susul menyusul dari kiri, kanan, atas dan bawah hingga tak ada kesempatan baginya untuk mengeluarkan jurus – jurus andalannya. Sampai pada saat terdengar suitan panjang susul-menyusul dari berbagai arah, tiba-tiba dua orang penyerangnya mengeluarkan suara teriakan seperti harimau sekejap kemudian berbarengan mengeluarkan jurus bagai pusingan gangsing, merangsek menggebu dari segala arah dengan lebih ganas yang ditutup dengan melentingkan diri dan menghilang ditelan kegelapan.

“ Keparat ” teriak senopati yang kurus itu sambil berusaha menguasai jalan nafasnya yang tersengal sengal.

“ Siapa mereka …” kata Patih Malengapati yang tiba-tiba telah berada dibelakangnya bersama Senopati Guyang

“ Entahlah, aku tidak tahu, sepertinya aku pernah mengenal jurus-jurus yang mereka gunakan, tetapi aku belum bisa menebak dengan pasti dari perguruan mana mereka itu” Jawab senopati yang kurus itu dengan masih tersengal-sengal.

Namun dia terperangah melihat tatapan berapi-api dari kedua mata patih Malengapati yang ditujukan kearahnya.

“ kakang patih jangan menuduhku terlibat dengan semua ini, aku sama sekali tidak ada hubungannya dengan peristiwa ini, kalo toh mereka adalah telik sandi Medang tidak mungkin aku tidak tahu karena aku belum melaporkan apapun pada Kanuruhan Panji Tuluh, sehingga sangat kecil sekali kemungkinannya jika mereka adalah para telik sandi Medang “ jawab senopati kurus itu menyakinkan patih Malengapati.

Pada saat suasana yang serba tidak enak bagi tamu itu, terlihat lurah prajurit Luwar datang dengan tergopoh-gopoh menuju kearah mereka, sangat menggelikan sekali melihat keadaan lurah prajurit itu, seluruh wajah hingga kepalanya penuh dengan kotoran kuda, sepertinya dia telah terkena kotoran kuda saat mengejar kuda-kuda yang lepas tadi.

“ Ada apa ki lurah “ Tanya Senopati Guyang

“ Ampun senopati, saya ingin mengabarkan bahwa sebagian kuda-kuda yang lepas telah berhasil kami tangkap kembali, namun pedati-pedatinya tidak mampu kami selamatkan”

“apa !!!, keparat mereka itu” Teriak patih Malengapati, lalu membalikkan badannya kearah sang tamu yang masih berdiri dengan salah tingkah.

“ kau harus mampu mengungkap siapa dibalik peristiwa ini adi senopati, dan bila kau gagal maka semua janji yang telah kita sepakati aku anggap tidak ada dan kau akan menanggung semua akibatnya” kata patih Malengapati dengan tatapan berapi – api ke arah orang berdiri di sampingnya itu

“ baiklah aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengungkap siapa dibalik peristiwa ini, dan sebaiknya kalian segera pergi dari tempat ini sebelum pagi. Aku mohon diri sekarang juga” jawab senopati kurus itu tanpa menjura hormat pada patih Malengapati langsung membalik badannya menghilang ke arah gelapnya malam.

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA(4.1)

4

Menjelang malam dengan dingin yang menggigit tulang,

Di sebuah Bulak yang cukup luas, di kitari oleh padang rumput ilalang yang terhampar hampir sejauh mata memandang, serta sebuah danau kecil yang airnya begitu jernih, rombongan prajurit Wurawari sibuk menyiapkan tenda-tenda yang terbuat dari kulit kijang yang dirangkai hingga berbentuk kain panjang sebagai atap tenda, terlihat seorang prajurit dengan pangkat lurah berteriak – teriak mengatur para prajurit bawahannya agar segera menyelesaikan dan menyiapkan segala keperluan tempat peristirahatan itu.

Sementara di pinggir danau Bulak Sirah, senopati Guyang dan patih Malengapati terlihat tengah berbincang – bincang dengan wajah yang sangat serius hingga tak peduli dengan kesibukan para prajuritnya. Sampai – sampai mereka tidak sadar ketika dengan tergopoh – gopoh lurah prajurit Luwar datang mendekat kearah mereka, lurah prajurit itu terpaksa harus mengeluarkan suara batuk-batuk kecil agar kedua atasannya tersadar akan kehadirannya.

“ ada apa Lurah Luwar” Tanya Senopati Guyang setelah sadar akan kehadiran lurah prajuritnya.

“ Maaf Senopati, tenda peristirahatan ki Patih dan Senopati sudah siap untuk ditempati” jawab Luwar

“ baiklah terimakasih, tolong segera siapkan pula hidangan makan malam buat kakang patih”

“ baik Senopati, akan segera saya suruh orang – orang untuk menyiapkannya” sahut luwar. Kemudian bergegas meninggalkan tempat itu.

“ kapan orang itu akan datang adi Guyang “ berkata Patih Malengapati setelah lurah Luwar pergi dari tempat itu.

“ Kira-kira sebelum tengah malam nanti kakang” sahut Senopati Guyang

” Kau benar-benar yakin bahwa orang itu benar-benar bisa dipercaya dan mampu melakukan tugas yang akan kita berikan bukan”

” Ya, tentu kakang patih, aku sudah mengenalnya sejak kecil, bahkan sebelum kami menjadi prajurit, kami berdua telah berada di perguruan yang sama selama bertahunm-tahun dalam mencari ilmu kadigdayan sehingga aku tahu betul bahwa dia adalah orang yang bisa kita percaya, oleh karena itu tak ada keraguan sedikitpun yang kurasakan padanya” jawab senopati Guyang menyakinkan patih Malengapati

“Baguslah kalau begitu, akupun mengenalnya sebentar ketika kalian berdua bersama-samamasih menjadi lurah prajurit di Lwaram sebelum kemudian dia diminta oleh orang-orang Medang untuk mengabdi disana” ujar patih Malengapati

”Nanti jika dia telah datang segera kau bawa dia menemuiku, sekarang aku ingin ke tendaku dulu” tambahnya lalu bergegas berjalan menuju tendanya meninggalkan tepian danau Bulak sirah.

Senopati Guyang pun bergegas pula menuju tenda yang diperuntukkan untuknya.

Sementara itu Prahasta dan teman-temannya sudah berada di sekitar bulak Sirah pula, bersembunyi diantara gundukan tanah dan rumput ilalang yang tumbuh begitu lebatnya. Arah pandangan mereka tidak pernah lepas sedikitpun dari kesibukan yang ada di tepian danau itu.

“ kita tunggu hingga tengah malam nanti” kata Prahasta pada gringsing dan sumprit alu setengah berbisik.

“ Kita gunakan kesempatan ini untuk mengamati apa yang mereka lakukan, sambil kalian gunakan waktu untuk memulihkan tenaga karena kita harus kerja cukup keras nanti malam, sementara aku akan mencoba menghubungi kakang Wira untuk membicarakan langkah selanjutnya”

Sumprit alu dan Gringsing mengangguk tanda mengerti apa yang di katakan Prahasta. Lalu Prahasta bergegas dengan mengendap-endap menuju sisi timur bulak di mana wira dan rekan – rekannya yang lain berada.

Bulan sabit telah berada pada jalur peredarannya, menunjukkan waktu hampir tengah malam, beberapa awan gelap bergelayutan diantara sayap-sayapnya seakan-akan berusaha menutupi sinar bulan sabit yang tengah malas mengeluarkan nyanyian malamnya.

Didalam tendanya, Senopati Guyang terlihat gelisah, beberapakali dia menarik nafas dalam. Hingga tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran seseorang dengan pakaian serba hitam serta menutupi seluruh wajahnya dengan selembar kain berwarna merah yang menerobos masuk ke dalam tendanya.

“Selamat malam kakang Guyang “ berkata orang itu, yang berperawakan tinggi dan kurusdengan

Gugup Senopati Guyang mengatasi keterkejutannya akan kehadiran orang itu yang tiba-tiba telah berada dihadapannya .

“ oh, kamu Adi… syukurlah kau menepati janjimu, kau ini benar-benar tak berubah, masih saja suka membuatku terkejut karena kehadiranmu yang selalu bagai hantu ditengah malam itu” ucap Senopati Guyang pada tamunya itu setelah mampu menguasai rasa terkejutnya sambil mengumbar senyum.

”Mari segera kita menghadap kakang patih” tambah Senopati Guyang yang segera mengajak tamunya menuju tenda Patih Malengapati.

Tanpa sepengetahuan mereka berdua, beberapa mata diantara pekatnya malam tengah mencermati segala gerak – gerik yang terjadi di tempat itu.

“ Sepertinya ada yang mencurigakan dari gerak – gerik kedua orang itu, aku akan coba mendekati tenda yang mereka tuju untuk mendengar pembicaraan mereka” berbisik Gringsing pada Sumprit alu.

Kemudian dengan tanpa menimbulkan suara Gringsing mendekati tenda yang paling megah diantara tenda lainnya dimana ke dua orang yang di curigainya menuju.

“ Selamat malam kakang patih, boleh kami masuk “ berkata Senopati Guyang setelah berada di depan pintu tenda patih Malengapati, dan tanpa menunggu jawaban dari dalam tenda, dia langsung menyingkap pintu tenda dan masuk kedalam di ikuti orang yang bersamanya.

“ apa kabar adi senopati, sepertinya kau kelihatan semakin makmur saja “ berkata Patih Malengapati ditujukan untuk orang yang bersama Senopati Guyang itu.

SERI AIRLANGGA -JUDUL MAHAPRALAYA(3.2)

“ Maaf teman-teman, aku terpaksa menghentikan dulu pengejaran kita disini” jawab Prahasta dengan masih berada diatas kudanya sambil menoleh pada Wira untuk memohon ijin, sebagai pimpinan rombongan Wirapun dibuat terkaget-kaget akan ulah Prahasta, sampai-sampai dia hampir saja terlempar dari atas kudanya karena harus menarik tali kekang kuda secara mendadak membuat kedua kaku depan kudanya terangkat sampai hampir terbalik, namun dia tahu betul siapa adik seperguruannya itu sehingga dengan sedikit menganggukkan kepala dia memberi ijin atas perbuatan Prahasta.


“ Menurutku kita tidak boleh mengikuti amarah yang membakar hati kita begitu saja, karena bisa-bisa kita malah mati konyol menghadapi gerombolan prajurit wurawari yang jumlahnya lebih banyak dari kita itu” lanjut Prahasta

“ lantas mau mu apa adi Prahasta” Tanya Dadung awuk orang yang bermuka sangar karena seluruh wajahnya di penuhi kumis dan brewok yang tebal

“ Kita harus memakai otak kita untuk menghadapi mereka, bukan karena aku takut berhadap-hadapan dengan mereka namun dengan jumlah kita yang cuma enam orang ini sedangkan mereka sebanyak limapuluhan orang, yang aku yakin sebagai prajurit mereka tentu memiliki bekal cukup baik dalam olah kadigdayan serta tidak menutup kemungkinan bila mereka adalah para prajurit yang kenyang akan pengalaman dalam berperang, oleh karena itu kita haruslah menggunakan strategi yang benar-benar jitu untuk mengalahkan mereka” lanjut Prahasta mencari kesan dari wajah rekan-rekannya.

“ Lantas strategi apa yang akan kita pakai untuk menghadapi mereka “ yang berkata adalah Wira pimpinan rombongan itu.

” Dengan jumlah orang yang kalah banyak dari musuh-musuh kita itu, tidaklah mungkin jika kita menghadapi mereka secara terbuka, menurutku kita harus menghadapi para prajurit Wurawari itu dengan sergapan mendadak secara diam-diam”

”Bukankah itu sebuah perbuatan pengecut” kata Dadung Awuk

”Memang benar perbuatan kita itu bisa dikatakan sebagai perbuatan pengecut, namun menurutku lebih baik dikatakan pengecut dari pada harus menanggung malu karena melakukan perbuatan konyol dan bodoh yang membuat kita menjadi mati sia-sia tanpa menghasilkan apa-apa” lanjut Prahasta

” Lalu sergapan bagaimana yang kau maksudkan itu” ucap Wira

” Kita harus berbagi tugas dan melakukan serangan secara mendadak dari berbagai arah, sehingga mereka akan mengira bahwa rombongan kita terdiri dari banyak orang, itu akan membuat pemusatan pertahan mereka menjadi kocar-kacir”

Wira,Dadung awuk dan yang lainnya mengangguk-angguk mengerti apa yang dimaksud oleh Prahasta.

“Kita harus mengejar mereka dengan menempuh jalan lain agar tidak bertemu secara langsung” tambah Prahasta yang meski termasuk orang termuda dalam rombongan murid padepokan cane itu, namun dia termasuk orang paling pintar diantara mereka, baik otak maupun kemampuan kanuragannya, sehingga walaupun dia bukan orang yang ditunjuk oleh guru mereka sebagai pimpinan rombongan, semua kata-katanya tetap di dengar oleh kakak-kakak seperguruannya, termasuk Wira yang menjadi pimpinan rombongan.

“ Kita tempuh jalan sebelah kiri dan kanan ini” lanjut Prahasta sambil menunjuk jalan yang dia maksud.

“ Dua jalan ini nanti akan bertemu di Bulak Sirah tempat kita tadi malam beristirahat. Aku yakin rombongan Wurawari itu akan bermalam pula di bulak sirah dan menurut perkirakanku mereka baru akan tiba di sana pada sore nanti”

“ Aku setuju dengan usulan adi Prahasta, kita memang tidak mungkin melawan mereka dengan cara membabi buta karena menuruti amarah” ujar Wira

“ Setelah kita tiba disana apa yang harus kita lakukan” sahut Dadung awuk

“ Kita akan berbagi tugas dan membagi rekan-rekan menjadi dua kelompok, satu menempuh jalan sebelah kiri sedang yang lain lewat jalan yang kanan, kita akan tiba di bulak sirah beberapa waktu setelah rombongan Wurawari itu sampai disana”

”Menurutku, kita masih punya cukup waktu untuk melihat-lihat keadaan setibanya di Bulak Sirah, agar kita bisa merencanakan cara yang terbaik untuk melakukan penyergapan, dan pada tengah malam nanti tepat pada saat kalian mendengar suara burung hantu tiga kali berturut – turut kita sergap mereka dari dua arah yang berlawanan, tapi aku ingatkan, kita tidak perlu membunuh, kita hanya cukup menangkap pimpinannya dan kita bawa menghadap pada Ki buyut Wiyat untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya ” kata Prahasta

“ Baiklah tidak perlu berlama-lama lagi. Aku, Dadung awuk dan Gajah awu akan menempuh jalan sebelah kanan sedang adi Prahasta, Sumprit alu serta adi Gringsing menempuh jalan sebelah kiri. Bagaimana?”kata Wira

” Setuju” jawab yang lain serempak

”Mari kita berangkat sekarang, berhati-hatilah karena musuh kita amatlah banyak dan jangan lupa untuk saling menjaga satu dan yang lainnya” ujar Wira yang langsung melesatkan kudanya kearah kanan diikuti Dadung awuk dan Gajah awu. Sementara Prahasta, Sumprit alu dan Gringsingpun bergegas memacu kudanya ke arah kiri.